Bukan Soal Kaki Palsu

Gambar

Kamar ini masih saja kosong, selalu lenggang. Selayaknya orang gila dalam penangkaran rupanya diriku sekarang ini. Kamar dengan cat putih tanpa hiasan sama sekali membuatku mataku jemu melihat. Terlalu terang, mencolok mata.

Kepalaku masih saja berat, sisa bius hari ini sepertinya sudah mulai hilang dikit demi sedikit. Perut masih saja mual, mungkin benar bahwa aku muntah banyak kemarin. Saat ini saja aku masih merasa kepalaku sangat pusing, suntik bius di punggung memang sangat tidak enak sama sekali. Mungkin aku harus meminta suntik bius pada ujung kaki saja lagi, seperti dulu saat awal-awal selesai operasi.

Sudah lama aku ingin sekali melihat hasil operasi, tetapi selalu tidak diperbolehkan. Menunggu kering dulu, ini juga masih diperban. Itu jawaban yang selalu aku terima saat meminta.aku tidak putus akal, setiap sepi aku mencoba mengangkat punggung untuk melihat kakiku, beberapa kali kucoba, selalu gagal. Tekanan di kepalaku sangat tinggi, rasanya mau pecah saja setiap kali mencobanya. Belum lagi badanku masih saja lemas. Mungkin karena aku sudah tua, sudah tak punya cukup banyak tenaga.

Sudah tidak lagi aku dengar samar orang bercakap-cakap diluar, percakapan mereka tentang diriku. Sudah hampir dua seminggu berlalu. Dulunya kupikir mungkin itu adalah para tetangga dan kepala desa, atau mungkin dokter-dokter yang sedang membahas hasil operasi? Memang secara pasti aku tidak dapat mendengar mereka bercakap-cakap soal apa, tetapi selalu saja aku mendengar soal laboratorium dan test darah.

Jam 8 malam, seperti biasa perawat itu datang, dengan wajah bosan tanpa menyapaku. Memantau infus dan mengecek tekanan darahku. Kemudian dirinya melirik pada kakiku, seketika itu pula air mukanya berubah. Mungkin aku sudah jemu bahwa sebentar lagi dia akan berkata bahwa perbanku terlalu banyak darah, harus diganti. Sejemu dirinya yang bisa kulihat dari caranya melepas perbanku. Aku mempersilahkannya seperti yang sudah-sudah.

Perawat muda itu dengan malas membuka perban dikakiku. kadang-kadang kasar sekali, tidak perduli dengan jeritanku. Dari mulutnya yang merah karena lipstik kudengar dia menggerutu. Mulai kembali bercerita tentang suaminya yang pengangguran dan sering keluar malam, soal biaya sekolah yang terus bertambah mahal. Aku hanya meringis menahan sakit, tidak menjawab. Dan kupikir dirinya juga tidak perduli dengan rasa ngilu di kakiku. Dia masih saja bercerita, kali ini soal dokter-dokter tua yang sering genit kepada perawat muda seperti dirinya. Atau soal insentiv yang sering turun terlambat. Aku mendiamkannya, aku bingung untuk menanggapi.

Ada yang mengetuk pintu. Dokter masuk datang menyusul, perutnya buncit. Dan hanya membawa stetoskop yang selalu menggantung dilehernya.

“Lukanya masih belum kering juga dok”  kata perawat sambil terus melepas perbanku.

Doker itu tidak menjawab, dia melihatku yang sedari tadi diam memandangi perawat. Wajah dokter itu sedikit musam. Dia adalah yang telah mengoperasi kakiku. Setiap hari dari wajahnya kulihat dia semakin cemas. Mungkin dirinya sedih melihat lukaku yang belum juga kering. Sebentar lagi boleh pulang, katanya lirih. Aku juga sudah jenuh dengan kalimat itu, karena kuyakin seminggu dari sekarangpun aku jamin aku masih disini. Aku mengangguk, tanpa suara.

Akupun juga sudah lelah untuk meminta dokter itu mengijinkan melihat kondisi kakiku. Berbagai alasan dalam seminggu sudah membuatku mengerti, ada yang salah dengan ini semua. Dan kau pasti akan bertanya, kenapa aku tidak marah dan menuntut.

Baiklah akan aku ceritakan kepadamu tentang kondisiku. Aku hanyalah perempuan dengan kedua kaki cacat sedari kecil, kakiku kurus dan melengkung. Kedua telapak kaki menjorok masuk kedalam, sehingga aku harus bertumpu pada punggung kaki saat berdiri. Punggungku berkelok-kelok, di Puskesmas mantra berkata bahwa ini adalah akibat dari bentuk kakiku. aku mampu hidup seperti ini, bahkan sudah kuterima dengan baik kondisiku ini berkat rasa sayang bapak dan ibuku.

Sampai suatu ketika, datang rombongan mobil dari kota ke desaku. Kudengar mereka adalah rombongan sebuah partai yang ingin mengadakan bakti sosial kesehatan. Memberikan pelayanan dari anak bayi, anak-anak, muda-mudi, bahkan sampai orang cacat sepertiku. Dokter itu ada dalam rombongan itu, melihat kondisiku dia berkata akan membawaku ke kota. Untuk disembuhkan, dioperasi. Saat itu aku bingung, ya sangat bingung. Aku ingin sekali sembuh. Menjadi perempuan normal dan menikah seperti teman-teman sebayaku Lastri dan Sisri. Tetapi siapa yang akan menemani? Bapak dan simbok sudah meninggal karena kecelakaan sebelum Idul Fitri tahun lalu.

Akhirnya aku berangkat. Bukan karena dokter berkata bahwa kakiku akan diganti dengan kaki palsu, kaki yang lebih baik untuk kesehatanku daripada kakiku yang asli.  Tetapi karena perawat yang membisikkan padaku bahwa kaki palsu itu baik untuk masa depanku, aku akan bakal terlihat lebih cantik. Sempurna.

Pertimbangan untuk menikah dan mempunyai suami begitu menggodaku saat itu. Aku tidak mau sebatang kara dengan kondisi seperti ini. Dan mungkin saja kaki palsu akan membantu jalanku menemukan laki-laki yang kelak akan jadi ayah dari anak-anakku. Aku berangkat ke kota bersama rombongan.

Sampai akhirnya bejalan hingga saat ini, dikamar ini. Aku masih saja terbaring tanpa sekalipun merasakan kaki palsu. Kalau tidak salah ingat kaki palsu itu masih rapi terbungkus plastik di dalam lemari. Dokter kemudian pergi setelah bercakap-cakap sebentar dengan perawat, wajah perawat itu menurut. Beberapa kali manggut-manggut tanda mengerti.

Dokter meminta ijin permisi, meninggalkan aku kembali berdua dengan perawat itu. Perawat bolak-balik mengambil perban, aklohol dan kapas. Terasa perih, tetapi sudah tak lagi kurasa seperti dulu. Rasa penasaran mampu membuat rasa menyakitkan itu sedikit berkurang.

“Siap-siaplah, habis ini ada foto lagi sama orang penting” kata perawat itu sambil melempar sisir padaku.

“Partai sekarang hanya cari muka, mana peduli mereka dengan orang kecil” lanjutnya lirih. Aku tidak mengerti maksud perkataannya.

Aku sendiri tidak perduli untuk diajak foto beberapa kali, terserah mereka mau mengajakku foto sebanyak mungkin. Asalkan aku bisa sembuh dan mulai memakai kaki palsuku. Aku sudah merelakan kaki untuk dipotong, tetapi belum ada ganti kaki.

Tiba-tiba aku rindu rumah, rindu berjalan melintasi pematang sawah di desaku. Aku kangen kaki cacatku. Aku kangen bapak dan simbok. Air mataku menetes, aku menangis Perawat itu melihatku, wajahnya kesal. Aku tahu tangisanku akan mempersulit dirinya mempersiapkanku untuk foto kali ini.

“Kapan saya boleh pulang, saya sudah tidak peduli dengan kaki palsu lagi?”

“Kau pikir kamu akan pulang cepat, Lukamu saja belum kering seperti ini!!” Bentaknya.

“Kapan luka saya kering?”

“Lukamu ini tidak bisa kering!! Kamu sakit !!”

“Kapan luka saya kering?” aku menangis sejadi-jadinya.

“Kamu Hemofilia1!!!”

Aku masih saja terus menangis, aku hanya ingin lukaku kering dan pulang.

 

………………………………………………………………………………………………………….

1 : Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang diturunkan yang disebabkan adanya kekurangan faktor pembekuan. Darah pada seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita hemofilia tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal.Penderita kelainan ini akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya.

CADAVER CADAVER

Gambar

Aku teringat kembali buku Penembak Misterius yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidharma, buku tipis berisi kumpulan cerpen berisi cerita pembunuhan, ah judul bukunya saja sudah memakai kata pembunuhan “bunuh”, pembunuhan misterius.

Baiklah, semua ini diawali dari peristiwa dalam beberapa bulan ini, banyak sekali mayat-mayat tanpa identitas ditemukan di pusat-pusat keramaian, di pasar, di mall, di jalan tol, di perempatan jalan besar, di depan rumah ibadah, di kampus bahkan sampai di sekolah-sekolah, dari menengah atas hingga dasar, tempat yang seharusnya bebas dari kengerian yang bisa mengakibatkan trauma psikologis pada anak-anak.

Dari hasil investigasi tim yang dikirimkan, mendapati kesamaan cara pembunuhan, selalu terdapat luka tembak tepat di jidat korban, semua persis di tengah, dilihat dari ukuran lubang yang dihasilkan menunjukkan bahwa ini adalah hasil dari peluru SPR-2, peluru yang digunakan untuk menembak jarak jauh, kurang lebih dengan jarak 500 meter, dan semua korban memiliki tato Ndan. begitulah yang aku ketahui dari bawahanku.

“Tato apa?”

“tato angka romawi Ndan, dan selalu urut! Korban terakhir bertato angka 27 ndan!”

“Selidiki disemua tempat tukang tato!”

“Siap, Laksanakan Ndan!”.

Kopi panas dihidangkan, file-file dan poto korban sudah tertata rapi diatas meja, kantor belum begitu ramai pagi ini, aku masih sibuk melihat foto-foto korban, mereka semua ditelanjangi, baik laki-laki ataupun perempuan. Benarkah ini ulah Petrus? Tetapi jika memang iya, kenapa tidak ada pemberitahuan dari pimpinan pusat? Kuambil rokok di dalam laci meja, kopi selalu tidak enak tanpa kopi, seperti polisi reskrim sepertiku ini, tidak akan enak jika tidak ada kasus pembunuhan. Tetapi untuk kasus kali ini berlebihan.

Aku membuka kembali ingatanku, menggali lagi sejarah pendidikan yang aku terima dalam kelas kepolisianku. Terakhir kali pembunuhan seperti ini dilakukan oleh satuan rahasia dibawah pimpinan Soeharto, tahun 1980an, sudah lama sekali rupanya, sudah 42 tahun berlalu.

Kutelusuri kembali ingatanku, mempelajari alasan kenapa harus dilakukan pembunuhan dengan cara keji seperti itu, dari sisa ingatanku kudapati bahwa dulunya premanisme sangat mengganggu, kekhawatiran akan adanya oknum yang diindikasikan berbau kiri dihilangkan, ketakutan akan adanya pemberontakan seperti peristiwa 30 September pun dapat ditekan dengan cara ini. Semua merasa aman dengan sistem ini, kecuali mereka yang dibunuh.

Bahkan dalam salah satu file yang kudapati, bahwa ada kesengajaan untuk menato tubuh korban yang belum memiliki tato, cara demikian biasanya diberlakukan kepada mereka yang aktivis-aktivis kampus, maka tidak heran jika jaman dahulu sering dijumpai mayat dengan tato yang masih baru. Tetapi tidak tato nomor urut seperti sekarang ini.

“Sialan! Apalagi ini sebenarnya!”

Aku masih tertegun heran, aku masih bisa memaklumi kasus demikian itu pada masa lalu, lalu lihatlah  sekarang, kondisi sudah jauh berubah, rakyat kenyang dimana-mana, politik stabil, pangan tercukupi, tak ada orang kurus, semua gemuk. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kopi dan rokok mulai habis, aku masih belum bisa memecahkan apa-apa, langkah awal hanya melakukan patroli malam, tidak ada nama yang kucurigai, tidak ada list yang diberikan dari pusat. Karena semua nama memang sudah habis dihabisi. Pikiranku kembali menerawang jauh, tak ada lagi gambaran apa-apa. Kesatuan penembak jitu pun juga tidak menemukan hasil apapun, tidak ada anggotanya yang terlibat.

Beberapa hari lagi baru akan mendapat data diri korban, beberapa foto sudah disebar dalam satu bulan ini, tidak membuahkan hasil, tak seorangpun datang untuk mengambil jenazah, tidak ada yang mengenali sosok korban, semuanya.

Pelacakan identitas korban semakin sulit, tim sudah tidak lagi menyebar foto di Jakarta saja, bahkan sudah sampai ke seluruh pulau Jawa. Mayat mayat menumpuk, lama kelamaan membusuk, menunggu keluarga yang datang sepertinya percuma, akhirnya mereka dikuburkan dalam satu lubang besar di lapangan belakang gedung kantor, hanya itu lahan yang tersisa.

“Siapa korban-korban misterius itu?”

Ponsel berdering, belum habis benar kopiku. Suara dijauh sana mengabarkan bahwa siang ini ditemukan lagi korban di staisun Senen, luka di jidat seperti korban-korban sebelumnya, telanjang dengan tato di tubuhnya.

Kulihat berita dimedia sudah tidak lagi menyukai adanya pembunuhan misterius ini, mereka mengabarkan bahwa rakyat sudah resah, kasus ini tentunya berbeda dengan awal mula sosok Petrus lahir, Negara sedang tidak dalam posisi terancam, tidak ada premanisme, tidak ada ketakutan rakyat pada orang-orang bertato. Dan sekarang mereka merasa terancam dengan hadirnya mayat yang bergelimpangan setiap hari. Mereka cemas jika mereka yang akan menjadi korban selanjutnya, demostrasi dilakukan menuntut pemerintah menghentikan kejadian keji ini.

Pusat semakin gerah, ketidakbecusan ini menggaggu stabilitas dan kredibilitas pemerintah, jika tidak mampu memecahkan kasus ini tentunya aku akan dipecat dan digantikan oleh mereka yang lebih lihai memecahkan kasus, banyak opsi bermunculan dalam rapat terakhir dengan pusat, salah satunya adalah untuk melahirkan sosok fiktif sebagai tersangka, menghilangkan ketakutan dan kecemasan rakyat untuk sementara.

“seperti ini presiden masih bisa plesir, huh!”

Selang beberapa hari sosok fiktif sebagai tersangka pun dihadirkan, kericuhan mereda, demonstrasi berkurang, pusat sedikit senang, tapi aku tahu ini tidak akan bertahan lama sebelum pelaku sebenarnya ditangkap, setiap sudut dikerahkan mata-mata untuk mengawasi. Disisi lain, pencarian jati diri korban belum membuahkan hasil yang maksimal. Aku masih penasaran siapa mereka-mereka itu.

Mayat kembali ditemukan, kali ini di pelataran masjid Istiqlal, perempuan, telanjang dan beratato. Berita beredar cepat, polisi kembali dipertanyakan kredibilitasnya, tim khusus yang dibentuk pun seakan tak berguna, mereka tak berkutik, dukun, orang pintar, kaum indigo, ustadz dan siapa saja yang kiranya dapat melihat lebih pun sebenarnya sudah pula dikerahkan, banyak yang menerawang bahwa ini adalah hukuman dari Sang Hyang Widhi, ah apa lagi ini. Mempekerjakan mereka saja sudah tidak masuk akal, apalagi sekarang harus mendengar omong kosong mereka.

Demonstrasi kembali lagi, serempak, mereka menuntut pemerintah untuk bertindak tegas dalam kasus ini, isu pemeritah adalah dalang dari ini semua terus berhembus, siapa yang menghembuskan? Tidak ada pihak oposisi disini sama sekali. Sudah habis dibasmi saat terakhir pemilu 8 tahun lalu. Diluar sana demonstrasi terus saja meluas.

Pusat semakin panas, tidak lagi gerah, demonstrasi ricuh, mahasiswa kembali turun kejalan, perusakan terjadi disana-sini, upaya prefentif tidak dapat dipakai lagi, pentungan dan senjata harus kembali berbicara, sekarang aku harus menghadapi dua masalah sekaligus, mayat ajaib dan kekacauan ini.

Penangkapan para demosntran yang anarkis berlanjut, mahasiswa-mahasiswa diawasi, tokoh-tokoh besar dipantau, mayat-mayat ajaib masih saja bermunculan, sudah menuju ke angka 105. Jam malam diberlakukan, tetapi tidak menghentikan semuanya.

Aku tutup kembali buku Seno, pikiranku tertuju pada cerita Grhhh!!! Tentang zombi yang hidup dari dendam masa lalu.

“Ah untung saja mayat itu bukan Zombi”

Kopi panas, rokok dan pisang goreng dihidangkan kembali, pagi masih sepi, file menumpuk di atas meja, sudah bertambah berkas kerusuhan belakangan ini. List nama-nama target operasi baru saja dikirim dari pusat.

Ponselku berdering, belum sempat aku meminum kopi panasku.

“Iya Halo”

“Lapor Ndan, Mayat-mayat ajaib bangkit dari kuburnya !!

PULANG

kamu selalu berdiri disini, memainkan ujung jari-jarimu sendiri, menunggu kereta yang akan mengantarmu pulang disebuah tanah yang asing.

Kamu tidak pernah suka duduk menunggu kereta di kursi peron, terlalu sempit dan kaku. Orang menatapmu saja kau tidak suka, terlebih harus duduk berdekatan dengan orang, kau selalu risih melihat orang menutup hidung dan memandang dirimu dari dekat, mungkin serisih mereka mencium bau tubuhmu yang aneh itu.

Sepatu hitammu selalu kau pakai, sepatu dengan kulit dari sapi pemberian ayahmu beberapa tahun sebelum dia meninggal karena dimakan macan saat mencari dirimu dihutan. kau menganggap bahwa ayahmu belum mati, kau merasa ayahmu akan selalu menjemputmu ketika kau tiba di stasiun kereta kotamu.

Kau selalu memakainya. Menggunakannya sebelum pulang kembali ketanah lahirmu. Kau tak pernah bisa pulang tanpa sepatu itu, sepatu yang dibuat dengan susah payah oleh ayahmu sendiri, dari menyembelih sapi hingga menguliti. Untuk putri tercantik didunia ini kata ayahmu saat kau duduk disampingnya menanyakan untuk siapa dia membuat sepatu.

Ibumu tak memberimu kenangan apa-apa, kecuali sebuah nama yang melekat padamu. Dia pergi dari dunia setelah tragedi itu, jantungnya tidak setegar jantung ayahmu, melihat polah tingkahmu mungkin sudah biasa untuknya, tetapi tidak untuk kata-kata miring orang dikampungmu tentang sosok dirimu. Dia pergi dengan sakit hati. Begitu yang mereka katakan pada kematian ibumu.

Kamu memang gadis kecil yang nakal, orang-orang dikampungmu pun tahu kan hal itu, sering pergi sendiri tanpa pamit, bermain petak umpet sendirian di kuburan tua, kadang kau memanjat pohon angker dan berteriak-teriak di atasnya, belum lagi kau kebiasaan anehmu tidur dalam dahan besar pohon raksasa itu, bahkan sampai berhari-hari.

Seluruh kampung pernah kau buat gempar, ingatkah? Saat itu dirimu pergi kegua, kemudian hilang selama beberapa minggu, orang-orang mencarimu, mereka berpikir dirimu diculik oleh dedemit penunggu gua. Mengigat kelakuan anehmu, orang-orang kampung mengira kau diadopsi oleh dedemit yang biasa dipanggil Mak Gondrong. Ayah dan ibumu menangis sejadi-jadinya, kalap bahkan ingin menyusulmu masuk kedalam gua, memohon dengan memberikan tumbal semua kambing-kambing yang ayahmu punya. Belum juga kamu kembali dalam pelukan orangtuamu, ayahmu berencana untuk bunuh diri menyusulmu kealam gaib, menyelamatkanmu. untung saja saat itu sesepuh datang, berkata bahwa dirimu baik-baik saja, hanya mampir main katanya setelah komat-kamit sendiri  tanpa makna.

Benar saja, kamu pulang sore harinya, malam jumat kliwon, saat gerhana bulan, kamu pulang dengan penuh darah dibajumu, tanganmu menggenggam kucing yang sudah mati, leher kucing itu penuh darah, sepertinya luka bekas gigitan binatang. Orang kampung semakin memandangmu seram, gila,kerasukan, anak demit, anak genderuwo, anak Mak Gondrong.

Ah, mungkin kamu sudah lupa, itu juga sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.

Kamu tidak pernah tahu, betapa ayahmu sangat mencintaimu, memujamu, melebihi cintanya kepada ibumu, sewaktu kamu lahir, bayi wajar tentu tidak langsung tumbuh gigi, kamu berbeda, dua gigi taring kecil sudah tumbuh saat kau keluar dari lubang garba ibumu,rambutmu terurai panjang lebat hitam, matamu terus melotot, tidak berkedip. anak setan ! itu yang pertama kali disebut oleh dukun bayi yang menyelamatkanmu, sebelum tergeletak pingsan.

Ibumu tidak mau menyusuimu, takut susunya sobek oleh gigimu yang tidak wajar itu, melihat wajahmu saja dia ngeri, bahkan jika kamu tahu, ibumu pernah ingin membuangmu saja, memberikannya pada Mak Gondrong, ayahmu marah sekali waktu itu pada ibumu, dia tetap ingin merawatmu, membesarkannya, maklum sudah lima belas tahun mereka memimpikan punya keturunan, walau lahir dengan wujud mengerikan sepertimu.

Walau akhirnya lambat laun ibumu mulai menerima dirimu, ayahmu dengan sabar selalu meyakinkannya bahwa kau adalah anak dari darah dagingnya, bukan anak setan atau anak genderuwo pohon angker ditengah kuburan. Menenangkan hati ibumu yang tidak bisa mendengar gunjingan dari para tetangga tentang kamu.

Gambar

Dokter yang mengadopsimu mungkin lebih menerimamu dan mendidikmu dengan baik, terlebih sekarang kamu sudah besar, kamu mampu merias dirimu dengan bedak dan lisptik yang biasa kamu beli di kota, menata rambutmu dengan gaya yang lebih menyerupai manusia. Dan yang paling penting kamu lebih tahu bagaimana cara menghadapi tatapan menjengkelkan dan gunjingan dari orang diseklilingmu, ayahmu mungkin mewariskan sifat tegarnya padamu.

Kereta tiba, memasuki jalur stasiun nomor tiga.

Kereta yang akan membawamu menuju ke tanah kelahiranmu. Tanah dimakamkan jasad ayah dan ibumu.

KURSI UJUNG KELAS

class_by_melodiousmellophone

Sore ini di gedung fakultas Psikologi, lantai 4, ruangan di sebelah barat lift, aku didalamnya, mendengarkan kelas yang dibawakan oleh prof Aswin, duduk di dekat jendela yang menghadap pohon Mahoni paling tua di kampus satu ini, aku selalu memilih tempat duduk ini, tempat duduk paling ujung di dalam kelas, bukan karena aku ingin sembunyi dan bisa tidur seperti temanku Azwar, bukan pula karena takut mendapatkan pertanyaan sulit tetang pelajaran Psikologi Agama seperti Lantip. Aku memiliki alasanku sendiri.

Seperti minggu-minggu yang lalu sebelum aku benar-benar memutuskan untuk memilih duduk dikursi ujung belakang, Prof Aswin kembali menjelaskan bahwa Agama Samawi adalah sumber peperangan terbesar dalam sejarah umat manusia, mungkin ini penjelasan yang ke lima kalinya kalau aku tidak salah hitung, pertama kali dirinya menjelasakan demikian, aku masih ingat bagaimana respon teman-temanku yang aktif di himpunan Mahasiswa keagamaan, dengan tegas mereka bersikap menolak, mereka membantah, menyatakan bahwa agama adalah jalan kehidupan yang damai dan benar.

Prof Aswin hanya tersenyum, duduk dengan tangan terbuka sembari mempersilahkan pada mahasiswanya untuk berpendapat, menyanggah atau mendebatnya dengan gagasan dan teori, aku tidak mau ikut campur, aku lebih menikmati pertunjukan ini, sebagian mahasiswa yang lain mulai bicara dengan nada tinggi, menyatakan bahwa penjelasan dan teori-teori yang dikemukakan oleh prof Aswin adalah konyol, salah kaprah dan berbau aliran komunis, bahkan ada teman sekelasku yang berkata bahwa prof Aswin adalah seorang Atheis.

Awalnya aku tidak tahu Atheis itu apa, sempat aku kira Atheis itu adalah salah satu sifat seperti Skeptis, pesimis, pragmatis atau salah satu penyakit psikologis semisal disleksia, schizophrenia, kelainan obsesif-kompulsif dan sebagainya. Sampai akhirnya Lantip yang anak kyai menjelaskan padaku bahwa Atheis adalah mereka yang tidak percaya akan adanya tuhan, dan saat lantip menjelaskan demikian, aku baru nyambung kenapa tiba-tiba ada kata komunis segala. “Emang komunis itu apa ?” aku bertanya kembali pada Lantip.

Kelas prof Aswin selalu berkurang pesertannya, sejak kedua kalinya prof Aswin berbicara soal Tuhan dan Agama, sedikit demi sedikit banyak mahasiswa yang takut akan menjadi gila, menjadi murtad, menjadi komunis, bahkan beberapa isu berhembus bahwa prof Aswin sengaja mengajar soal ini berulang-ulang agar kita menjadi Atheis. Propaganda terus disebar oleh mahasiswa yang tidak menyukai materi dari porf Aswin. Aku bersyukur bahwa aku tidak begitu pandai dalam menangkap pelajaran, bodoh telah menyelamatkanku dari ketakutan seperti yang dialami oleh teman-teman kelasku.

Minggu ketiga, kelas yang biasa diisi sekitar empat puluhan mahasiswa hanya tersisa delapan orang, boikot kelas prof Aswin terus saja berlangsung, sepertinya upaya protes pada Dekan untuk menghentikan ajaran prof Aswin tidak berhasil, Dekan masih memberikan kebebasan untuk mengajar, dalam suatu kesempatan saat sedang ada orasi beliau berkata bahwa kelas prof Aswin tidak berbahaya dan tidak mengandung ajaran sesat sama sekali. Aku masih tidak tau apa yang bahaya di kelas Prof Aswin.

Prof Aswin masih mengajar dengan cara seperti biasanya, kupikir dia Dosen yang cuek, tidak peduli dengan sikap mahasiswa yang menolaknya, dengan santai dia berkata bahwa memang ada kencenderungan manusia untuk percaya pada sesuatu yang bersifat religius, sifat ini merupakan kekuatan paling rumit dan ampuh dalam pikiran manusia, dan sangat mungkin sifat itu merupakan bagian dari hakikat yang tidak bisa dihilangkan. Aku berpikir beliau memnela diri.

Sesi pertanyaan diberikan, semua harus bertanya dan kami bebas bertanya apa saja, dikelas dengan delapan orang membuatku sedikit gugup, aku tidak pandai bicara, aku tidak pandai menunjukkan diri dalam kelas, kulihat Lantip duduk tenang, menjadi anak kyai sedikit banyak membantunya dikelas dengan materi agama seperti ini, sedang Azwar terus menerus mengucek matanya, berusaha untuk tetap terjaga dari kantuk biasanya.

Pertanyaan berhamburan, lima orang yang tersisa selain aku, Lantip dan Azwar sepertinya sangat menyukai apa yang prof Aswin ajarkan, kalau aku tidak salah ingat mereka bertanya soal apa perbedaan antara tuhan monotesime dan polyteisme dalam menentukan moral manusia, ah apa lagi ini, apakah ini seperti polyphonik dan monophonik seperti nada dering? Istilah baru lagi.

Lantip yang penakut pun mampu bertanya, dengan sedikit gugup dia bertanya soal bagaimana pandangan prof soal terorisme dan agama, Azwar menyusul bertanya, aku benar-benar tak menyangkanya bahwa dirinya yang ngantukan bisa mendapatkan pertanyaan secepat itu, dia bertanya kenapa Tuhan menciptakan manusia, tinggal aku sendiri yang belum bertanya.

Semua mata melihatku, aku gemetar, menunduk, aku tidak tau apa-apa, istilah istilah baru baru saja kudengar dan aku harus bertanya, kemampuan otakku tidak sampai, mengerti saja tidak, dan aku dipaksa untuk bertanya. Lantip dan Azwar mencolekku, prof Aswin masih sabar melihatku, aku berharap bahwa aku adalah pengecualian dalam tugas untuk bertanya ini, tetapi sepertinya harapan tinggalah harapan, prof Aswin masih setia menungguku. Untuk kali ini aku harus benar-benar mengutuk kebodohanku.

“Apakah Tuhan benar-benar ada prof?”

Aku gugup, tetapi ada sedikit perasaan lega, hanya aku heran darimana aku bisa mendapatkan pertanyaan demikian, mungkin karena beberapa hari yang lalu aku sering mengingat istilah Atheis aneh itu. Semua tertawa, entahlah, kupikir karena pertanyaanku terlalu bodoh, semua juga tahu bahwa Tuhan itu ada.

Minggu keempat, kelas sudah mulai terisi, kekhawatiran soal ajaran sesat dari prof Aswin sudah berhasil direda oleh adanya penjelasan dari Dekan, tidak ada unsure atau kepentingan apapun dalam materi yang disampaikan oleh prof Aswin, semua murni ilmu pengetahuan, berlandaskan akan science. Sebagian lain mulai menerima dan tidak khawatir soal materi tersebut, tetapi sebagian yang lain tidak, mereka yang menurut Lantip tergolong orang-orang fundamental masih menganggap bahwa materi yang diajarkan sangat riskan terhadap keimanan agama mereka.

Aku memang tidak tahu banyak soal agama, orang tuaku tidak terlalu mengajarkan soal itu,  mereka hanya ingin aku menjadi anak yang pandai, dan berprestasi, itu saja. Aku ingat bagaimana ayahku bilang padaku bahwa hidup itu butuh materi bukan butuh omong kosong, walau begitu tetap saja keluarga kami selalu rutin dalam satu tahun melakukan sholat ied jika idul fitri tiba. Bagi kami sholat ied mungkin bukan sebuah ibadah, tetapi sebuah kebiasaan saja.

Akan aku lanjutkan, suasana kelas masih seperti biasa, tidak ada yang berubah dari cara prof Aswin menyampaikan materi, walau dalam kelas masih kudengar bisik-bisik ketakutan dan muncul beragam praduga terhadap prof Aswin, aku tidak tau kenapa, keadaan ini menjadi sangat menjengkelkan, aku memang bukan anak yang gampang peduli, tetapi ketakutan mereka terasa mulai menyebalakan dalam kelas ini, aku tidak menyukainya!

Bisik-bisik hampir tidak pernah berhenti, komat-kamit mulut teman-teman kelasku sudah mirip dengan dukun santet, kenapa mereka tidak bicara lantang seperti bung Karno atau bung Tomo saja jika mereka masih tidak suka! Aku geram sendiri. Sebentar kemudian harapanku terkabul, mereka berteriak dan berkata pada prof Aswin benar-benar ingin mencuci otak untuk menjadi Atheis saat menjelaskan teori bahwa tuhan-tuhan agama samawi adalah pencemburu, agama yang bertuhankan mereka mengajarkan bahwa siapa yang belum mengakui eksitensinya harus diubah keyakinannya, atau perlu dibunuh untuk kebaikannya. Aku tau itu tidak sepenuhnya benar, mungkin prof hanya ingin memancing kami untuk berikir.

Kelas gaduh, tidak ada pernyataan menyanggah, mereka semua lebih sibuk mengomel dalam ketakutan, kulihat prof Aswin kembali memberikan kesempatan untuk bertanya, memberi ruang untuk bediskusi dan berargument, tidak ada yang berani unjuk tangan untuk menyanggah, masih sibuk kasak-kusuk, samar-samar kudengar istilah Ahtheis kembali dilontarkan dalam percakapan mereka.

Mereka mulai memasukkan buku kedalam tas dan berkemas-kemas, sepertinya akan banyak yang ingin pergi meninggalkan kelas sebelum jam usai. Akhirnya mereka benar-benar meninggalkan kelas seperti kemarin beberapa dari mereka bahkan mengancam jika kelas masih dilajutkan, penjelasan Dekan tak bertahan lama rupanya. Aku tidak tertarik untuk ikut, Lantip dan Azwar rupannya ingin ikut, ada alasan untuk tidur sebelum nanti bermain futsal kata mereka berdua, aku dibujuknya untuk ikut pergi meninggalkan kelas, kali ini aku benar-benar tidak tertarik.

Kelas sepi, tinggal tersisa enam orang, prof Aswin tidak berkata apa-apa, dia hanya tersenyum melihat demikian itu, kelas dilanjutkan, teori-teori tentang Tuhan dan sejarah manusia menjadi menantang untuk didengar, dan tiba-tiba aku menyukainya, berbagai pikiran mulai lalu lalang dalam benakku, pertanyaan-pertanyaan menjadi seperti jamur dimusim penghujan, tumbuh subur di setiap sudutnya. Aku menunggu tugas untuk bertanya.

Langit sore ini cukup mendung, gerimis mulai turun, riuh anak berlarian menghindari hujan terdengar sampai di lantai empat ini, aku menatap keluar jendela, musim hujan terlalu cepat datang, ini masih bulan Agustus. Prof Aswin sedang menyiapkan materi kembali, kali ini aku gunakan moment ini untuk mengamatinya, mulai dari menulis, menyiapkan kertas-kertas bahkan sampai membetulkan kertas mika di OHP. Ya dia satu-satunya dosen yang selalu menyampaikan materi dengan OHP.

Materi dilanjutkan, kami menyimak, mendengarkan apa yang prof Aswin sampaikan, aku menunggu pertanyaanku yang kemarin belum dijawab, hanya pertanyaan ku saja yang belum dijawab, dan mungkin benar, bahwa pertanyaanku adalah pertanyaan paling gampang untuk dijawab. Prof Aswin sudah siap memulai materi baru, sebentar kemudian dia melihatku, kemudian dia berkata

“Bagi para theis yang cerdas sekalipun, mereka tidak dapat mempersepsikan dan mendiskripsikan Tuhan dengan logis, mereka sadar bahwa Tuhan benar-benar sukar untuk dipahami secara ilmu pasti, dan pada akhirnya mereka lebih memilih untuk menerima melalui keimanan tanpa banyak bertanya lagi”.

Brtttt……Brttttttt……posel ku berbunyi, dari layarnya kulihat ada pesan masuk dari Lantip, tidak aku buka, mungkin mereka mau memajukan jam futsal. Ponsel kembali kumasukkan kedalam saku celana.

Prof melanjutkan materinya, sekali-sekali membetulkan kacamatanya yang silindris, mengusap rambutnya yang penuh dengan uban, tidak ada tanda kebotakan sama sekali, itu yang membuatku penasaran dengan dirinya dibandingkan dengan prof-prof lain yang mengajar.

“Dalam upaya untuk memperjuangkan kebenaran etika, para pengajar agama seharusnya mampu untuk melepaskan doktrin Tuhan personal, yakni melepaskan sumber rasa takut dan harapan yang dimasa lalu sampai sekarang memberikan kekuasanaan pada tangan para pemuka agama, mereka-mereka harus mampu memanfaatkan kekuatan-kekuatan lain yang lebih logis untuk menanamkan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Hal seperti ini memang sangat terasa sulit sekali, tetapi hal seperti ini lebih layak dilakukan” belum sempat prof Aswin menyelesaikan,

BLAAAR, tiba-tiba pintu didobrak, rombongan mahasiswa yang menurut Lantip fundamental masuk, memaksa mengakhiri kelas, mereka bahkan sempat menarik prof Aswin yang bertubuh renta itu, teriakan simpatisan Komunis, Atheis, bergema didalam ruangan, mereka bertakbir, berulang-ulang, kami yang didalam kelas tak jauh berbeda nasibnya, sebagian rombongan bahkan sempat menendang salah satu kawan kelasnya sendiri yang setia mengikuti kelas ini, antek-antek PKI mereka sebut. Lantip dan Azwar menghampiriku,

“Kau tak membaca sms ku?” Lantip berkata sambil membantu mengemasi bukuku.

“Tidak”

“Seharusnya kau membukanya.”

Kubuka pesan dari Lantip diponsel, “akan ada pembubaran paksa kelas oleh mahasiswa fundamental di kelas prof Aswin, cepat pergi”.

Aku tidak perduli pada isi sms dari Lantip lagi. Semua sudah terlambat. rombongan yang kalap itu tidak menyerangku, mungkin mereka berpikir bahwa aku benar-benar bodoh untuk dapat didoktrin. Takbir terus berkumandang tanpa henti.

Mereka meminta prof keluar dari kelas, kulihat tidak sempat orang tua itu membereskan buku-buku dan kertas materinya, dia sudah ditarik ramai-ramai. Buku dan kertas materi dikumpulkan dan diabakar didalam kelas. “Ini Sesat!!!” kata mereka yang disambut gemuruh takbir yang lainnya. Kelas akhirnya benar-benar bubar.

=====================================================================================

Kelas pfor Aswin dimulai kembali, mereka-mereka yang anarkis kemarin ditindak, mereka di skorsing selama 2 semester karena telah menghina dan berlaku anarkis. Aku hadir seperti biasanya, Azwar dan Lanip juga. Riuh rendah suara kembali bermunculan saat prof Aswin datang, kengerian kembali terpancar, sisa sisa mereka yang tidak menyukai materi tetapi tidak bisa berbuat apa-apa memilih untuk berisik didalam kelas, mereka beradu argumentasi, berdebat dengan simpatisa dari prof Aswin setelah kejadin kemarin. Mereka masih takut.

Aku memilih duduk dikursi ujung deretan belakang, dekat jendela yang menghadap pohon Mahoni paling tua, bukan karena aku takut dan trauma atas kejadian kelas beberapa minggu yang lalu, sama sekali tidak, aku sengaja memilih tempat ini untuk dapat melihat kepada seisi kelas, aku ingin melihat mereka dalam satu pandangan lurus tanpa harus menoleh kebelakang, dan bukan menjadi bagian aktif dalam hiruk pikuk obrolan mereka. Aku memilih duduk di kursi ujung ini karena aku ingin menjadi penonton mereka-mereka yang bergelut. Bertikai mencari kebenaran diri-Mu Tuhan.

AKU TAKUT TUHAN TAKUT

Sore ini di gedung fakultas Psikologi, lantai 4, ruangan di sebelah barat lift, aku didalamnya, mendengarkan kelas yang dibawakan oleh prof Aswin, duduk di dekat jendela yang menghadap pohon Mahoni paling tua di kampus satu ini, aku selalu memilih tempat duduk ini, tempat duduk paling ujung di dalam kelas, bukan karena aku ingin sembunyi dan bisa tidur seperti temanku Azwar, bukan pula karena takut mendapatkan pertanyaan sulit tetang pelajaran Psikologi Agama seperti Lantip. Aku memiliki alasanku sendiri.

Gambar

Seperti minggu-minggu yang lalu, Prof Aswin kembali menjelaskan bahwa Agama Samawi adalah sumber peperangan terbesar dalam sejarah umat manusia, mungkin ini penjelasan yang ke lima kalinya kalau aku tidak salah hitung, pertama kali dirinya menjelasakan demikian, aku masih ingat bagaimana respon teman-temanku yang aktif di himpunan Mahasiswa keagamaan, dengan tegas mereka bersikap menolak, mereka membantah, menyatakan bahwa agama adalah jalan kehidupan yang damai dan benar.

Prof Aswin hanya tersenyum, duduk dengan tangan terbuka sembari mempersilahkan pada mahasiswanya untuk berpendapat, menyanggah atau mendebatnya dengan gagasan dan teori, aku tidak mau ikut campur, aku lebih menikmati pertunjukan ini, sebagian mahasiswa yang lain mulai bicara dengan nada tinggi, menyatakan bahwa penjelasan dan teori-teori yang dikemukakan oleh prof Aswin adalah konyol, salah kaprah dan berbau aliran komunis, bahkan ada teman sekelasku yang berkata bahwa prof Aswin adalah seorang Atheis.

Awalnya aku tidak tahu Atheis itu apa, sempat aku kira Atheis itu adalah salah satu sifat seperti Skeptis, pesimis, pragmatis atau salah satu penyakit psikologis semisal disleksia, schizophrenia, kelainan obsesif-kompulsif dan sebagainya. Sampai akhirnya Lantip yang anak kyai menjelaskan padaku bahwa Atheis adalah mereka yang tidak percaya akan adanya tuhan, dan saat lantip menjelaskan demikian, aku baru nyambung kenapa tiba-tiba ada kata komunis segala. “Emang komunis itu apa ?” aku bertanya kembali pada Lantip.

Kelas prof Aswin selalu berkurang pesertannya, sejak kedua kalinya prof Aswin berbicara soal Tuhan dan Agama, sedikit demi sedikit banyak mahasiswa yang takut akan menjadi gila, menjadi murtad, menjadi komunis, bahkan beberapa isu berhembus bahwa prof Aswin sengaja mengajar soal ini berulang-ulang agar kita menjadi Atheis. Propaganda terus disebar oleh mahasiswa yang tidak menyukai materi dari porf Aswin. Aku bersyukur bahwa aku tidak begitu pandai dalam menangkap pelajaran, bodoh telah menyelamatkanku dari ketakutan seperti yang dialami oleh teman-teman kelasku.

Minggu ketiga, kelas yang biasa diisi sekitar empat puluhan mahasiswa hanya tersisa delapan orang, boikot kelas prof Aswin terus saja berlangsung, sepertinya upaya protes pada Dekan untuk menghentikan ajaran prof Aswin tidak berhasil, Dekan masih memberikan kebebasan untuk mengajar, dalam suatu kesempatan saat sedang ada orasi beliau berkata bahwa kelas prof Aswin tidak berbahaya dan tidak mengandung ajaran sesat sama sekali. Aku masih tidak tau apa yang bahaya di kelas Prof Aswin.

Prof Aswin masih mengajar dengan cara seperti biasanya, kupikir dia Dosen yang cuek, tidak peduli dengan sikap mahasiswa yang menolaknya, dengan santai dia berkata bahwa memang ada kencenderungan manusia untuk percaya pada sesuatu yang bersifat religius, sifat ini merupakan kekuatan paling rumit dan ampuh dalam pikiran manusia, dan sangat mungkin sifat itu merupakan bagian dari hakikat yang tidak bisa dihilangkan. Aku berpikir beliau memnela diri.

Sesi pertanyaan diberikan, semua harus bertanya dan kami bebas bertanya apa saja, dikelas dengan delapan orang membuatku sedikit gugup, aku tidak pandai bicara, aku tidak pandai menunjukkan diri dalam kelas, kulihat Lantip duduk tenang, menjadi anak kyai sedikit banyak membantunya dikelas dengan materi agama seperti ini, sedang Azwar terus menerus mengucek matanya, berusaha untuk tetap terjaga dari kantuk biasanya.

Pertanyaan berhamburan, lima orang yang tersisa selain aku, Lantip dan Azwar sepertinya sangat menyukai apa yang prof Aswin ajarkan, kalau aku tidak salah ingat mereka bertanya soal apa perbedaan antara tuhan monotesime dan polyteisme dalam menentukan moral manusia, ah apa lagi ini, apakah ini seperti polyphonik dan monophonik seperti nada dering? Istilah baru lagi.

Lantip yang penakut pun mampu bertanya, dengan sedikit gugup dia bertanya soal bagaimana pandangan prof soal terorisme dan agama, Azwar menyusul bertanya, aku benar-benar tak menyangkanya bahwa dirinya yang ngantukan bisa mendapatkan pertanyaan secepat itu, dia bertanya kenapa Tuhan menciptakan manusia, tinggal aku sendiri yang belum bertanya.

Semua mata melihatku, aku gemetar, menunduk, aku tidak tau apa-apa, istilah istilah baru baru saja kudengar dan aku harus bertanya, kemampuan otakku tidak sampai, mengerti saja tidak, dan aku dipaksa untuk bertanya. Lantip dan Azwar mencolekku, prof Aswin masih sabar melihatku, aku berharap bahwa aku adalah pengecualian dalam tugas untuk bertanya ini, tetapi sepertinya harapan tinggalah harapan, prof Aswin masih setia menungguku. Untuk kali ini aku harus benar-benar mengutuk kebodohanku.

“Apakah Tuhan benar-benar ada prof?”

Aku gugup, tetapi ada sedikit perasaan lega, hanya aku heran darimana aku bisa mendapatkan pertanyaan demikian, mungkin karena beberapa hari yang lalu aku sering mengingat istilah Atheis aneh itu. Semua tertawa, entahlah, kupikir karena pertanyaanku terlalu bodoh, semua juga tahu bahwa Tuhan itu ada.

Minggu keempat, kelas sudah mulai terisi, kekhawatiran soal ajaran sesat dari prof Aswin sudah berhasil direda oleh adanya penjelasan dari Dekan, tidak ada unsure atau kepentingan apapun dalam materi yang disampaikan oleh prof Aswin, semua murni ilmu pengetahuan, berlandaskan akan science. Sebagian lain mulai menerima dan tidak khawatir soal materi tersebut, tetapi sebagian yang lain tidak, mereka yang menurut Lantip tergolong orang-orang fundamental masih menganggap bahwa materi yang diajarkan sangat riskan terhadap keimanan agama mereka.

Malam Terakhir di Kedai Kopi

bc150909

“Sungguh menarik bahwa sejak awal sejarah ditulis oleh para pemenang, pemenang dalam hal ini adalah sistem yang bertahan hidup dan berhasil menaklukkan” kata Gembiz sambil memainkan sendok dicangkir kopinya yang hampir habis, tampaknya dia begitu serius ingin membahas masalah yang sedang aku hadapi.

“Lalu dimanakah kebenaran sejarah itu? Dan apakah kebenaran itu sendiri ?” sahutku yang tidak mau terlihat bodoh, ya sebuah pertanyaan yang bagus akan jauh lebih membuat kita dipandang cerdas daripada menjawab sebuah pertanyaan sulit.

“Bukankah kau selalu bilang bahwa kebenaran itu bersifat Subjektif, ya aku masih ingat bahwa kebenaran bagimu bukanlah sesuatu yang lagi Objektif setelah kau tidak percaya Agama apapun” tambahku.

Kau masih terdiam, hanya saja senyum kecutmu itu selalu muncul saat kau dihadapkan pada sesuatu yang akan panjang untuk kau uraikan.

“Hemmm…kau benar, kebenaran Objektif tidak lagi ada bagiku, kecuali kau memang sudah ikhlas untuk berkata dan buta dengan kata Iman. Ya kau merelakan diri untuk patuh dan percaya pada peraturan yang ditetapkan dan kau menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak bisa digubah atau direvisi lagi” jawabmu datar,  “dan pastinya kau akan berkata, bukankah dengan demikian letak kebenaran akan menjadi sesuatu yang labil, tidak solid dan kita akan meraba-raba sendiri akan apa kebenaran itu, kita akan terjerumus dalam kebimbangan dan keraguan, benar bukan?” lanjutmu sambil menatapku penuh kemenangan, ya kau selalu mempersiapkan pertanyaan selanjutnya untuk hipotesamu sendiri, dan aku selalu tertarik untuk mendengarkan kata-katamu.

“Ya lalu apa yang akan terjadi jika meraba sesuatu yang besar, menjadi begitu labil untuk diterjemahkan, jika setiap isi kepala memiliki asumsi dan persepsi tentang kebenaran sendiri-sendiri?, Bukankah akan menimbulkan chaos pada tahap perbedaan dalam pengaplikasiannya?” cecarku,

Kau diam begitu lama, merogoh sebatang rokok mild dan menyulutnya, rupanya kau telah jatuh dalam asumsi kebenaran jawabanmu yang labil pula. Aku tersenyum menang.

“Kau tau Bin, saat ini kita tidak sedang berbicara tentang sebuah kebenaran mutlak biasa, ya kebenaran yang sudah tidak dapat disalahkan lagi. kebenaran yang menjumpai pembuktian yang mengatasi pernyataannya. kebenaran mutlak adalah kebenaran yang hidup dengan fakta  yang tidak  dapat  disangkal lagi, Seperti api adalah panas, es adalah dingin, batu adalah keras, air adalah lunak, dan sebagainya adalah kebenaran mutlak juga. Tetapi kita berbicara tentang kebenaran mutlak yang sampai saat ini masih kita cari seperti kebenaran tentang sikap hidup adanya surga, adanya neraka, adanya tumimbal lahir, adanya Dewa, adanya kemungkinan kita menjadi Dewa, ataupun Tuhan dan keIlahian”

Aku mengangguk, ya aku tahu itu, kau tidak suka berbicara ringan, tanpa terkecuali kau akan mempertanyakannya dan meraba-rabanya dengan filsafatmu yang kadang masih banyak belepotan itu.

“Manusia ingin tahu yang benar Bin, dan kebenaranlah yang dapat mengobati rasa haus itu, dan dengan ilmu pengetahuanlah manusia mencari sesuatu yang benar atau kebenaran, ya dengan kata lain dengan ilmu manusia mencari sesuatu yang benar, ilmu menjadi instrument penting dalam menemukan apa hakikat kebenaran itu sendiri, menyelaraskan antara pengetahuan dengan objek yang dituju, kesesuaian antara rasio, indera dan objek, dan hal inilah yang akhirnya kita amini sebagai kebenaran mutak atau kebenaran objektif, sedang pada apa yang kita pertanyakan kita masih jauh dari itu”

“Ya aku mengerti soal itu Mbiz, dan soal kebenaran apa yang akan kau bahas, lalu bagaimana dengan sejarah? Bukankah kau masih ingin menetapkan hipotesamu sendiri didalam membaca setiap sejarah?”

“Hahaha. Selalu saja out of topic, tetapi kali ini saya tidak begitu jauh dari platform begitu jauh kan Bin” kau terkekeh, dan asap rokokmu melayang di udara, “Begini Bin, ya Sejarah itu besar, Sejarah itu luas dari mana kita akan melihatnya dan mengambil jalurnya,Sejarah lahir setelah manusia mengenal tulisan, karena dengan tulisan manusia bisa mambaca apa yang terjadi pada saat itu, tetapi tidak semua tulisan itu bisa dibaca dengan jelas, masih banyak lahir penafsiran-penafsiran lain yang berbeda disetiapnya, dan hal ini tentu harus didukung lagi oleh sesuatu artefak, peninggalan wujud atau non wujud yang menguatkan persepsi penafsiran dalam membaca tulisan yang mengandung sejarah”

“Berarti tentunya akan ada berbagai macam versi tentang suatu sejarah maksutmu? Jika hanya mengandalkan teks saja?” Sambarku

“Bahkan ada bukti fisik atau non fisik pun banyak sejarah yang multi-tafsir”

Aku meraih bungkus rokok, mengambil satu batang dan menyulutnya, sepertinya aku mulai sedikit percaya dengan kata-kata Gembiz, sahabatku yang tiga tahun lalu memilih untuk pergi ke Bali, mencari experience baru katanya, karena di Jawa sekarang terlalu ribet dengan segala tetek bengek peraturan yang tidak jelas, berbeda dengan Jawa yang dulu.

Aku masih tidak tau bagaimana Jawa dulu dan sekarang.

“Kau masih ingat tentunya Bin, tentang adanya perubahan materi pelajaran Sejarah, dulu waktu kita masih sekolah ditingkat dasar kita mendapat pelajaran sejarah tentang pemberontakan G30S PKI, tetapi sekarang materi pelajaran sejarah tersebut sudah ditiadakan, ya sejak runtuhnya Orde Baru, itulah contoh nyata yang kita alami bahwa Sejarah dituliskan oleh mereka yang jadi Pemenang, tetapi tidak berhenti disitu saja Sejarah berulang kali berubah dituliskan untuk merubah pandangan seseorang Pada kurikulum buku pelajaran tahun 2004, tragedi 1965 disebutkan G30S tanpa embel-embel PKI di dalamnya. Namun kemudian pada kurikulum 2006 nama PKI muncul kembali seperti yang pernah tercantum di buku-buku bacaan selama era Orde Baru.”

“Apa manfaatnya dengan itu semua, apa hanya untuk melanggengkan kekuasaan saja? Tetapi bukankah 2006 sudah tidak ada lagi kekuatan orde baru didalamnya, kenapa muncul kembali? Lalu dimana kebenaran sebenarnya?” aku tertarik, Sejarah ini menjadi begitu campur aduk, benar mungkin rupanya bahwa kita akan menjadi labil berdiri diatas sejarah yang tidak pasti dan berubah.

“Kau masih ingat kata-kata yang Hitler? kesalahan yang diulang akan menjadi sebuah kebenaran,  ya secara psikologis otak kita akan merekam sesuatu yang diulang dengan repetisi yang tinggi, seperti halnya para biksu, muslim yang melakukan dzikir, seorang sufi yang memutar-mutar kepalanya dengan membaca pujian, agar otak mereka merekam apa mereka lakukan saat itu, dan hasilnya bibir mereka akan selalu bertindak demikian, itulah proses induksi pemikiran, pertama mereka merebut pikiranmu, kemudian kau tanpa sadar akan melakukan bahkan membenarakan itu secara terus-menerus tanpa kesadaran. Otak kita merekam”

“Suatu kesalahankah demikian?” tanyaku, iya aku setuju dengan pendapat Gembiz soal hal ini, bahwa otak kita merekam sesuatu dan menjadikan itu menjadi suatu ingatan genetis, seperti yang pernah ia jelaskan soal Metabolic Syndrome yang belakangan diderita oleh masyarkat Indonesia post-modern.

“Kesalahan? Secara cara saya berpikir tidak, hanya saja apa yang menjadi tujuan itu yang perlu digaris bawahi. Terlepas dari itu ada satu point penting lagi, ya bahwa kita masih meraba kebenaran tentang sejarah sebenarnya, atau bisa jadi pemerintah enggan melakukan pelurusan sejarah bangsa Indonesia. Karena kita masih melihat banyak potongan sejarah bangsa dan negara Indonesia masih belum jelas, terutama yang menyinggung Soekarno dan Komunisme. Dan ketidak jelasan itu akan tertanam di benak generasi selanjutnya.”

Kau terdiam beberapa saat, merogoh satu batang rokok lagi, kau selalu butuh rokok untuk tetap berpikir rupanya, satu yang kusesalkan darimu, kau mengekang otakmu sendiri dengan berpendapat bahwa tanpa rokok kau tidak bisa berpikir, tapi itu ukuran aneh untuk orang sepertimu, ya orang yang begitu berontak terhadap dogma tetapi memberikan dogma yang salah terhadap kesehatan tubuh sendiri. Suatu saat akan aku tanyakan perihal ini padamu.

“Kau tahu efek apa yang akan terjadi dari perbedaan penulisan sejarah tadi Bin?”

Tanyamu mengagetkan lamunanku, aku masih terkejut hingga tak tau harus menjawab atas pertanyaanmu yang tiba-tiba. Tetapi matamu masih menunggu jawabanku, seakan berharap bahwa aku tahu jawaban dari pertanyaanmu itu, berharap bahwa dia tidak berbicara dan berdiskusi dengan orang yang salah, berharap setara berpikirnya, ah tidak, kau tidak pernah membedakan sesuatu dengan tingkatan kepemilikan.

“Akan ada banyak orang yang bingung untuk memilih salah satu dari banyak sejarah yang dituliskan” jawabku sekenanya.

Kau tersenyum, sepertinya ada yang salah dengan jawabanku barusan.

“Salah?” tanyaku,

“Enggak, hanya saja terlalu enak kamu jawabnya,” jawab Gembiz,

===================================================================

Bersambung…………. ^.^