Belalang Tua dan Aku

Hasil gambar untuk belalang tua makan

Belalang tua Belalang tua

Menyebalkan, kerikit tiada henti

Nada sumbang, tiada nada minta makna

Aku berguman, kenapa gerangan

Angin lewat lesu, senja pun begitu

Siapa aku yang mengutuk belalang itu

Siapa aku yang menggerutu

Belalang itu hadir juga bukan mauku

Aku hadir juga bukan mau belalang itu, pikirku akhirnya

Kusadari aku hanya menghakimi

Sebuah hobi

Melindungi diri

Menilai

Menilai

Siapa…

Siapa…

REVIEW BUKU ESTETIKA BANAL DAN SPIRITUALISME KRITIS

Buku Estetika Banal

Bericara buku estetika banal dan Spiritualisme Kristis, tentu saja akan membahas sesuatu yang menarik, membahas sebuah buku yang ditulis oleh dua orang sekaligus, terlebih lagi mereka adalah suami istri. Erik Prasetya dan Ayu Utami. Jujur saja kalau berbicara tentang dua orang itu, saya hanya tahu Ayu Utami, sedangkan Erik Prasetya saya baru pertama kali mengenalnya saat mendapatkan buku ini ketika episode Unboxing Hadiah Lomba Resensi Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Buku yang sebenarnya tidak tebal menurut saya, hanya saja dibikin nyleneh, sebuah buku kecil dengan 40 halaman untuk materinya, sedangkan sisanya adalah halaman berisi tulisan yang ditranslatekan kedalam Bahasa inggris. Sebuah buku Flip-Flop seperti mata Huskey.

36013f36602fc476aeb2f40e4b5b9d76.jpg

Ketika itu Bung Alex mengatakan bahwa buku ini bagus, okelah, saya menangkap bahwa memang dari judulnya sendiri cukup menarik, Estetika Banal dan Spiritualisme Kristis. Estetika Banal ditulis oleh Erik dan Spiritualisme Kristis ditulis oleh Ayu Utami. Berbicara Spiritualisme Kritis tentu saja tidak bisa dilepaskan oleh Ayu Utami, novel yang baru saja kami Review berbicara tentang hal itu, novel Bilangan Fu, bahkan kalau boleh saya bilang  beberapa karya Ayu Utami memang banyak menyentuh perihal konsep Spiritualisme, selain tentu saja Militerisme, Feminisme, dan Seksualitas. Saya pribadi tidak meragukan kemampuan Ayu Utami dalam mengemas bab-bab yang saya sampaikan tadi dalam karyanya. Rasa penasaran saya tentu saja muncul kepada Erik Prasetya, setelah mendapatkan buku itu memang saya langsung search perihal Erik Prasetya, melihat sosoknya, menggali informasi tentang apa saja perihal Erik, dan satu yang dapat saya Tarik kesimpulan adalah bahwa Erik seorang Fotographer yang nyentrik, memiliki kegelisahan dengan profesinya untuk menangkap moment, dan kemudian mempertanyakan segala hal tentang eksistensinya sebagai seorang juru foto.

n4AszbQq.jpeg

Erik Prasetya

Baiklah, pertama saya berkesimpulan bahwa dalam buku ini nanti hanya akan menceritakan perihal tulisan Ayu Utami, sedangkan Erik hanya akan memberikan suguhan hasil bidikan lensanya. Meski sekilas ketika membuka buku itu saya melihat memang banyak hasil foto jepretan dari Erik, tetapi ternyata Erik juga mengambil peran untuk menulis disana, didalam buku Estetika Banal dan Spiritualisme Kristis.

Pertama memang saya membaca tulisan yang ditulis oleh Erik, tulisan dengan warna merah sebagai pembeda dengan tulisan yang ditulis oleh Ayu Utami yang menggunakan warna biru, tentu saja hal ini sama dengan cover bukunya, Estetika Banal ditulis dengan warna merah, dan Spritualisme Kritis ditulis dengan warna biru. Saat membaca tulisan Erik, saya terkesima, jujur saya terkesima, gaya menulis yang saya sukai, tidak mudah saya cepat menyukai gaya menulis seseorang, beberapa yang saya sukai saat ini adalah Dewi Lestari, Ayu Utami, Eka Kurniawan, Pram, dan beberapa tokoh penulis lainnya, tetapi saat membaca tulisan Erik, saya merasai benar bahwa saya suka dengan cara menulisnya, mengemas materi yang ingin disampaikan, enak. Meski saya sempat berpikiran buruk bahwa ini adalah tulisan Ayu Utami yang berasal dari percakapan / cerita yang disampaikan oleh Erik, seperti yang saya katakana, bahwa Suudzon saya kuat hahahaha Terlepas dari peluang itu ada, saya menyukainya, menyukai cerita yang dituliskan dengan tinta warna merah itu.

Berbicara tentang materi tulisan dari Erik, saya menangkap tentang sebuah perjalanan Panjang yang menghasilkan kontemplasi mulai dari tahun 1994, sebuah perjalanan yang menghantarkan kepada pemikiran “Estetika Banal” sedangkan Ayu Utami pada tahun 2000an merasai karya-karya terebut sebagai “menangkap makna sebelum konveksi” dengan kredo bahwa estetika banal adalah

1 : Terbuka kepada estetika yang belum dirumuskan

2 : Percaya kepada momen-momen indah sehari-hari dan mencoba merekamnya

3 : Mencoba menangkap kewajaran, tidak menyutradarai dan memprovokasi

4 : Mempertanyakan kembali hubungan subjek dan objek.

Sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tentang probel estetis dan etis dalam dunia fotografi, terutama manusia. Meski pada akhirnya setiap usaha jawaban akan melahirkan sebuah pertanyaan yang baru.  Sebuah kutipan menarik dari buku ini untuk menyudahi betapa kerennya pemikiran Erik terhadap dilema berkesadaran tentang manusia adalah

“(Hutang foto kepada yang difotonya tidak bisa ditebus) Estetikanya bisa dihargai sebagai presentasi, tapi presentasi itu hanya mungkin berakar kepada representasinya.”

Banal Aesthetics.jpg

 

fotografer-indonesia-2a.jpg

ErikPrasetyaJKT007.jpg

Sebuah buku yang layak untuk dibaca, terlebih jika dirimu menyukai dunia fotografi, sebuah buku yang akan membawamu kepada pertanyaan tentang hubunganmu dengan yang kau ambil gambarnya, sebuah buku yang mengantarkanmu kepada gerbang pengertian konsep keindahan yang tidak monoton dalam satu konsepsi saja. Dan sebelum saya akhiri, saya ucapkan terima kasih kepada penerbit KPG yang menjadikan buku ini sebagai hadiah dari lomba resensi novel bilangan fu, sehingga takdir mempertemukan saya dengan buku Flip-Flop ini, buku yang mengemas pemikiran dari Erik Prasetya.

 

TIDAK ADA KARTU MERAH

Tentang Penulis

Oke, tentang penulis sendiri sebenarnya tentu tidak asing, beliau beberapa kali muncul di Review Buku Channel, seperti pada saat membedah buku Vegetarian dan Mengkritisi Bumi Manusia. Yups penulis buku ini Ruly Riantiarno, yang sebenarnya akan sangat Panjang sekali jika membahas tentang penulis, terlebih nantinya sulit akan membuat hal ini menjadi objektif karena dia adalah sahabat dekat saya yang saya anggap sebagai adik saya sendiri. Okelah, beliau masih muda, dulu saya kenal beliau karena sama-sama fans Arsenal, yang kami tergabung dalam Gooner Karanganyar, terus kemudian yang saya tahu dia adalah The Jak mania korwil Karanganyar, bukan hanya sebagai fans, dia juga mahir dalam mengocek sikulit bundar, dulu tapi, sekarang saya tidak tahu lagi, karena dulu dia belum merokok. Hahahahaha. Apa lagi yak, ow hiya, dia bekerja sebagai juru stempel, di Separasi Sablon di Karanganyar. Karya pertama yang ditelurkannya adalah Cakrawala Gelap, yang berisi kumpulan cerpen-cerpen beliau, sejujurnya sangat menarik sekali kalau mengikuti kisah hidup beliau ini. Owh hampir lupa, beliau aktif dalam komunitas Kamar Kata Karanganyar, yang darisana akhirnya beliau mendapatkan gemblengan yang mantap dan tahsyat sehingga berhasil menelurkan 2 karya yang dibukukan, meski sebenarnya banyak karya beliau yang muncul di media online lainnya.

Fisik Buku

25908520_468c7fe8-48d4-485d-84ba-3534c5101b85_1000_1000.jpg

Fisik buku Tidak ada kartu merah cukup enak untuk dipegang sih, kemudian material bukunya juga bagus, tebal halaman 221 halaman,  enak untuk dibawa kemana-mana, dan tulisannya enak untuk dibaca tidak mengganggu. Spasinya juga nyaman,sangat nyaman. Untuk materinya sih ada 17 bab yaitu dari Lapangan Banjar Rejo sebagai pembuka, sampai dengan bab terakhir yaitu Tidak Ada Kartu Merah. Penerbitnya dari Kompas. Untuk fisik buku yang pertama-tama saya terganggu dengan cover dari buku ini, yaitu background warna hijau, saya pikir dan saya rasa, terkesan tidak ada hubungannya dengan judul yang tertulis sangat jelas, yaitu TIDAK ADA KARTU MERAH. Harapan saya pertama kali mendapatkan cover buku ini adalah gambar tangan memegang kartu, wasit, atau apalah yang berhubungan dengan Kartu Merah. Tetapi tidak ada sama sekali, ya mungkin karena hal itulah awal yang membuat saya sedikit kecewa dengan buku dari Ruly ini. Tetapi kemudian, ternyata terjawab sudah, kenapa harus berbackground seperti ini setelah saya merampungkan buku ini dalam dua hari satu malam.

Materi Buku

Untuk materi buku jelas tadi sudah dibuka yaitu bahwa buku ini terdiri dari 17 bab yang akan mengantarkan kita kepada makna tidak ada kartu merah, untuk materinya sendiri sebenarnya bercerita tentang kisah persahabatan lintas generasi, generasi Lik To, Kasim, Harmini dan Jaikun dengan generasinya Bies, Afat, Nayeli dan Anan. Ditambah dengan kisah rivalitas desa  sepakbola Banjar Rejo dan desa Windu Jaya. Secara singkat dapat saya katakana bahwa bukan hanya itu saja yang ditawarkan ketika membaca buku ini, bukan hanya tentang sepakbola saja rupanya, tetapi juga tentang Persahabatan, Cinta, Dendam, dan Impian.

Dalam buku ini juga kita bisa menemukan bahwa laki-laki pun bisa menangis, melihat bahwa sepakbola membawa kita kepada air mata, bahwa laki-laki juga memiliki hati terhadap sesuatu yang dicintainya, bahkan saat menitikkan air mata disinipun kita bisa sangat memaklumi bahwa hal tersebut adalah suatu kewajaran.

Buku ini sangat menarik, saya rasa ini ada campur tangan dari bung Yudi Teha ini, yang akhirnya membuat tiap bab disetting menyimpan misteri yang membuat kita nanti akan terpaksa untuk terus membaca, memecahkan ada apa sebenarnya dengan kerumita hubungan dua generasi yang unyuk ini. Seperti sebuah teka-teki tentang hidup seseorang yang saling terkait terhadap kehidupan orang lainnya, dan kuncinya misterinya dibawa tokoh lainnya.

Meski demikian, untuk kekurangan haruslah ada yang perlu juga untuk dibahas disini. Saya rasa karya pertama Bung Ruly ini cukup menarik, sebuah karya yang berani bermain dengan banyak tokoh dan banyak masalah dan misteri, tetapi sayangnya saya merasa bahwa editornya terasa sepintas lalu saja mengedit karya ini, ada beberapa keganjilan saat kita membaca buku ini seperti soal masalah waktu, rasa, dan beberapa misteri yang akhirnya kadang mentok hanya menjadi misteri saja, atau bahkan terasa bahwa ternyata misterinya hanya seperti itu.

Selain itu beberapa kelogisan dalam cerita ini perlu dikritisi kembali, banyak hal soal kelogisan yang layak untuk digaris bawahi. Seperti dapat dilihat tadi saat saya memperlihatkan isi bukunya. Kemudian satu hal yang perlu ditekankan kepada penulis yaitu bung Ruly, saya memiliki pesan pribadi, sebaiknya anda lekas jatuh cinta dan berani berkomitmen untuk berpacaran, jadilah playboy dengan berbagai versi, sehingga anda dapat mengerti bagaimana hubungan perasaan yang bagus dan mengalir.

Untuk lebih lengkapnya bisa disaksikan di channel youtube ane di #ReviewBukuChannel jangan lupa Subscribe, Like dan Share yak

Hasil gambar untuk gif arrow down

Review Buku AGAMA SKIZOFRENIA

(KAJIAN KENABIAN DALAM KACAMATA PSIKOPATOLOGIS)

Hasil gambar untuk AGAMA SKIZOFRENIA

Penulis buku Agama Skizofrenia  Ahmad Fauzi yang kini tinggal di Semarang ini sejak lama terobsesi pada agama, filsafat, dan sains. Mas Ahmad Fauzi sendiri mengagumi ilmuwan fisika kuantum terkemuka, seperti Stephen Hawking dan Werner Karl Heisenberg, dan juga pengarang Dancing Wu Li Mastersyang meraih penghargaan sains, Gary Zukav.

Buku Agama Skizofrenia bukan buku sembarangan menurut saya, hal ini jelas karena dengan lahirnya buku ini, beberapa kali mas Ahmad Fauzi dipanggil oleh pihak kepolisian karena tuduhan penistaan agama, tetapi satu yang menarik dari hal kejadian-kejadian ini adalah bahwa mas Ahmad Fauzi masih hidup tenang sebagai petani (posisi saya menulis ini mengetahui bahwa mas Ahmad sekarang sibuk bertani), sebuah kesimpulan sederhana saya buat tentang perihal mas Ahmad yang kuat menghadapi tuduhan yang diberikan oleh LUIS dan FPI adalah bahwa mas Ahmad memiliki backupan yang kuat, yaitu ilmu pengetahuan dan rasionalitas yang jelas, argument-argumen yang nalar sehingga bisa menjadikan mas Ahmad berani mengambil sikap atas apa yang menyerangnya.

Baiklah, buku Agama Skizofrenia sendiri seperti yang sudah saya terangkan di atas terbukti sahih memancing masalah, hahaha. Bagaimana tidak? Sebuah buku yang didalamnya memuat tentang sebuah pertanyaan-pertanyaan besar yang sudah coba dijawab oleh agama, kemudian dihancurkan kembali secara kritis tanpa sisa ruang untuk menutupi kebohongan yang dibuatnya.

Ajakan untuk melihat dan bertanya kembali seperti bagaimanan seandainya tuhan bukan lagi pusat agama, maka spiritiualisme yang mewujud Bersama sifat dan eksistensi ketuhanan sudah tidak bermakna lagi, bukankah menjadi sebuah dekonstruksi yang sebenarnya perlu kita tengok, perlu kita sedikit berani untuk menoleh kebelakang dan mengatakan demikian, menyadarinya bahwa peluang kesana adalah ada.

Untuk lebih lengkapnya sila cek di channel youtube Review Buku Channel yang mengupas buku Agama Skizofrenia lebih detail dan kritis, atau bisa membaca review saya pada awal-awal saya mendapatkan buku ini pertama kali di

Agama Skizofrenia Ahmad Fauzi

Untuk versi Youtube sila tonton di bawah ini

Hasil gambar untuk gif down arrow

Review Buku HOMO DEUS –

cf54cda6-9378-4706-90e3-131b206cd2c6

Buku homodeus, sebuah buku yang dalam beberapa review lainya mengatakan bahwa Homo Deus adalah cahaya terang yang suram. Kenapa demikian, karena Harari dalam kajiannya menghantarkan kita kepada kemungkinan masa depan manusia yang seakan merupakan ramalan yang terasa nyata, dan gamblang di depan mata kita, tetapi ramalan tersebut alih-alih terasa menyenangkan, tetapi rupa-rupanya malah membuat kita yang membaca merasa ngeri dan kembali melihat kedalam diri kita sendiri, tentang kesadaran, kecerdasan dan yang paling mendasar dan tidak pernah terjawab sampai detik ini adalah Identitas, siapa kita.

Dalam buku homodeus ini, kita mendapatkan kemungkinan masa depan manusia yang ingin / berusaha menjadi tuhan, suatu jawaban atas kegelisahan manusia itu sendiri yang terdorong rasa ingin lebih, ketidakpuasan atas pencapaian apa yang selama ini telah menjadikan dirinya sampai pada saat ini.

Homo deus memberikan kita gambaran tentang kenapa manusia berusaha ingin mencapai imortalitas, keabadian, suatu konsep yang ingin seperti tuhan, kekal dan tidak fana. Meski secara subjektif disini Review buku berpandangan bahwa dorongan itu adalah salah satu bentuk evolusi manusia yang belum selesai. Tingkat evolusi manusia saat ini adalah dalam tingkatan Intelegensi.

Tetapi, dalam hal ini, Harari juga mengetengahkan problematika apa yang mungkin nantinya akan dihadapi manusia saat menjadi imortal. Karena menjadi imortal tentu saja akan bertemu dengan risiko-risiko yang berasal dari kemelekatan manusia.

Risiko kemelekatan itu adalah tentang nilai-nilai kehidupan itu sendiri, kematian dalam filsafat sendiri sebenarnya berkontribusi dalam memberikan nilai terhadap kehidupan seorang manusia, dan jika manusia menjadi imortal tentu saja pergeseran ini akan menjadi suatu problematika nilai kehidupan manusia baik dari aspek agama maupun filsafat itu sendiri. Agama akan kehilangan powernya dalam mengatur manusia karena Neraka dan Surga akan menjadi tidak terjamah karena manusia tidak mati. Nilai hukuman dan hadiah terhadap pelaksanaan kehidupan dengan dasar agama menjadi tidak lagi ditaati, itulah kenapa agama selalu menentang proyek proyek membuat manusia menjadi Abadi.

Dari sana, harari memberikan kemungkinan gambaran tentang munculnya revolusi humanis, yang bakal muncul karena manusia sudah tidak lagi percaya dengan rencana kosmis raya yang memberikan manusia makna kehidupan. Revolusi humanisme akan merubah nilai-nilai pandangan liberal yang berjalan saat ini.

Selain materi pokok yang menurut saya paling menarik tersebut dalam masa depan manusia, kita juga akan dihadapkan dengan materi lain yang tidak kalah menariknya.

Yaitu tentang manusia yang berhasil menaklukkan mahluk besar di muka bumi

Tentang kesadaran manusia dengan dunianya

Tentang dorongan kesenangan manusia

Tentang para pendongeng

Tentang pertanyaan siapa kita sebenarnya

Masalah Artificial intelegensi

Dan masih banyak lagi yang menurut review buku merupakan dasar pokok manusia sebagai homo sapiens.

Pandangan Review Buku terhadap buku Homo Deus, terlepas dari buku yang secara fisik kurang nyaman di pegang untuk teman perjalanan. Tetapi buku ini sangat menarik, sangat menambah wawasan kita untuk gambaran masa depan yang kemungkinan bisa terjadi. Harari berhasil mengajak kita ikut serta dalam menentukan nasib kita sendiri sebagai manusia setelah menyuguhi kita dengan segala gambaran yang selama ini terjadi pada manusia. Buku yang sangat layak dibaca untuk manusia. Nilai 9 dari skala 0 – 9. Terlebih penerjemah buku ini berhasil membuat kita nyaman untuk memaknai setiap materi yang disampaikan oleh Harari.

SEXUALITAS DAN FEMINSIME

fairey-Womans-March

Kasus pelecehan seksual yang diterima oleh salah satu penyanyi dangdut kenamaan Via Vallen oleh pemain sepak bola Marko Simic menjadi sorotan sendiri oleh kalangan pengamat sepakbola Indonesia, tentu saja hal menjadi perkara yang menarik, pertama karena Via Vallen adalah penyanyi yang sedang naik daun, begitu juga dengan Marko Simic. Lalu apakah ada hubungan antara tindakan yang dilakukan oleh Simic dengan feminisme dalam sepakbola? Berbicara tentang feminisme dalam sepakbola tentu saja ada beberapa kalimat yang menjadi suatu rankaian yang terhubung satu sama lain, misalnya seperti peranan perempuan di tribun suporter, perjuangan perempuan untuk dapat bermain sepakbola, atau bagi yang sudah mengenal AFC Unity dari Inggris (sila baca tentang materi AFC Unity ini, sangat menarik sekali), dan lebih luas dan dalam lagi kita tentu akan berbicara tentang Emma Goldman. Hanya saja lain kesempatan kami akan menuliskannya 🙂

Berbicara tentang feminisme memang berhubungan dengan orientasi seksual, apa lagi kalau bukan perkara itu?

Berbicara tentang seksualitas sebagian besar hanya akan mendapatkan kosakata beruba, fisik, biologis, dan segala sesuatu yang menyangkut tentang alat kelamin atau persetubuhan semata. Seksualitas telah mengalami reduksi makna, padahal jika kita bicara tentang seksualitas maknanya akan lebih luas dan lebih kaya, dan hal inilah yang tidak dilihat oleh sebagian besar manusia yang masih terkungkung dengan konsep seksualitas budaya patriarki. Padahal era modern telah lama datang dengan membawa pencerahan tentang ilmu pengetahuan yang seharusnya merubah konsep lama tentang seksualitas. Peninggalan-peninggalan lama seharusnya ditinggalkan karena memang salah dan tidak sesuai dengan hakikat manusia.

Seksualitas haruslah mulai dikaji dari perspektif yang lebih luas, bukan hanya mengedepankan fisik semata, tetapi juga tentang strukturalisme seksualitas, seksualitas manusia dari kacamata eksitensialisme, kultural dan historisnya. Seksualitas tidaklah lagi akan menjadi sesempit tentang hubungan seksual semata, tentang jenis kelamin tetapi akan menjadi lebih kaya, lebih multidimensional, kompleks karena mencakup begitu banyak dimensi dalam diri manusia. Isu-isu tentang seksualitas atau bahkan seksualitas itu sendiri memiliki nilai komersial tersendiri, dieksploitasi sebagai sebuah komoditi dikarenakan kebanyakan orang masih memiliki pemahaman bahwa seksualitas hanya menyangkut aspek genetalitas dan organ seks sekunder lainnya atau soal intercourse (persetubuhan). Pentingnya kejelasan pemahaman tentang seksualitas adalah sebuah imun dari gencarnya arus komersialiasasi seks melalui berbagai bentuk media yang didukung oleh kecanggihan teknologi.

Psikologi Freud, Strukturalisme Strauss, History of Sexuality Foucault atau Esksitensialisme Sartre, membedah seksualitas dan otonomi manusia dalam satu kesatuan yang utuh, unik, dan otonom sangatlah perlu pahami benar-benar, sehingga dari sana kita bisa melihat kajian bagaimana sexual harrasment yang dialami Via Vallen, sebuah pesan yang bertujuan untuk memuaskan suatu nafsu hedonis sexuil dengan ajakan tanpa mengindahkan hak pribadi dan hanya memandang Via Vallen hanya sebagai object pemuas semata. Tetapi meski demikian, ada perlu digaris bawahi, bahwa ada sosio-kultural yang membentuk suatu dominasi orientasi tentang pemaknaan seksualitas itu sendiri, hal-hal seperti ini kadang yang masih luput dalam pandangan manusia ditengah kemajemukan sosial, bagiaman proses manusianya, budayanya, dan masyarakatnya.

Refrensi : Filsafat Sex : FX. Rudy Gunawan

BIARLAH MINKE NYA HANUNG MEMILIKI TAKDIRNYA SENDIRI

mink-5b07701ef133441578426162

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” – Pramoedya Ananta Toer! This Earth of Mankind.

 

Mungkin tepatlah saya menggunakan kutipan Pram (Pramoedya Ananta Toer) ini sebagai pembuka atas apa yang sedang saya gelisahkan. Tetapi benar adanya, saya gelisah, berpikir tak kala mendengar bahwa salah satu dari buku Tetralogi Pulau Buru milik Pram yang berjudul “Bumi Manusia” akan di filmkan! Di film kan! Di tambah orang yang akan mensutradari film ini adalah Hanung Bramantyo!

Baiklah, begini, bukan hal baru bahwa novel-novel atau roman akan bertakdir untuk dilahirkan kembali dalam layar lebar di gedung bioskop, tidak ada yang bisa mengira, karena saya percaya bahwa buku memiliki takdirnya masing-masing. Tetapi mungkin ini adalah moment besar kedua bagi saya saat mendengar bahwa film dari buku buah karya Pram ini akan dimunculkan dalam bentuk film. Ya ini adalah moment kedua terbesar bagi saya, setelah kemarin muncul film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk! Sebuah novel yang saya baca kala SMA, buku yang membuat saya menangis sesegukan karena imajinasi saya kala menerjemahkan kata perkata yang dituliskan oleh Hamka dalam romannya itu. Ah, tetapi saat mendengar bahwa buku itu akan di filmkan, kengerian itu tiba-tiba muncul, sebuah gambaran, imajinasi yang saya bangun takutlah untuk diruntuhkan dengan apa yang akan hadir dalam layar lebar garapan Sunil Soraya.

Dan kali ini adalah Pram, Bumi Manusia, dan Minke! Lalu apa?

Sebenarnya terlepas dari banyaknya nilai positif dari di filmkannya buku ini, yang tak lain dan tak bukan adalah bahwa buku yang pernah di bredel di era Orde Baru ini mulai menjamah dunia yang semakin luas, dan pasar yang semakin lapang dengan pembeli dari generasi-generasi lebih segar, maka saya sangat mendukung bahwa film ini hadir di Indonesia, atau lebih tepatnya, buku Bumi Manusia ini layaklah di filmkan!

Tetapi permasalahan yang saat ini saya lihat adalah, nilai-nilai subjektif sebagai penggemar karya Pram berteriak khawatir, Minke ku akan dirusak oleh Minke yang akan dilahirkan oleh apa yang diimajinasikan oleh Hanung. Tidak dapat dipungkiri, bahwa Minke menjadi sosok kultus yang hingga saat ini biarlah menjadi sosok suci yang gambaran idealnya berada di benak masing-masing pembaca, ya kita semua melahirkan sosok Minke untuk mengisi Bumi Manusia kita masing-masing.

Lalu apa salahnya Iqbal? Secara sosok tentu saja itu mengganggu gambaran kita tentang Minke yang harusnya Jawa, dia terlalu bersih dan hanya dibungkus pakaian saja. Ini tentu saja tentang sosok bukan tentang atribut, aih. Tetapi biarlah, ini adalah pilihan matang dari Hanung dengan segala pertimbangan bisnis nya.

Banyak yang teriak untuk memBoikot film ini! Boikot Film ini! Entah, jujur saya merasa sedih membaca beberapa komentar di sosial media yang bersikap antipati terhadap munculnya film ini, terlebih saat mendengar bahwa Bumi Manusia ini akan di filmkan dengan Iqbal yang nantinya akan berperan sebagai Minke, sebegitu sucinya kah? Sebegitu mengkultuskan imajinasi kah? Apakah film ini akan mengguncang keimanan kalian terhadap sosok Minke yang dilahirkan oleh karya Pram dalam bukunya? Biarlah Minke yang lahir dari Film Hanung ini hadir dan menemui takdirnya sendiri, dan segenting itukah sehingga Minke yang kalian lahirkan dalam imaji kalian setelah membaca bukunya akan lenyap dan hancur dengan sosok Minke yang di lahirkan dalam gambaran Hanung?

Saya sependapat dengan sebuah komentar dari seorang netizen yang mengatakan bahwa “Saya tidak sangsi dengan Iqbal, saya lebih sangsi cerita Bumi Manusia tidak akan seperti Bumi Manusia”. Secara pribadi saya jujur tidak meragukan Iqbal, terlepas dia memang hanya sebagai lakon, yang geraknya nanti akan dikendalikan oleh sang sutradara, yaitu Hanung, dan mari kita bicara tentang Hanung! Sosok yang kata teman saya mirip sekali dengan saya yang sipit dan berhidung pesek dan sama-sama memiliki istri yang cantik ini memang luar biasa, luar biasa nekat dengan menggarap film-film berat tanpa matang dalam survei (menurut saya pribadi) seperti yang pernah saya tontong adalah Soekarno, Sang Pencerah dan Tanda Tanya (?).  Meski banyak yang mengatakan bahwa Hanung sedang aji mumpung dengan adanya fenomena anak milenials yang sedang gandrung membaca buku-bukunya Pram dan membuat filmnya, itu adalah hak Hanung dengan pertimbangannya, hanya saja tentu kita berharap film ini nantinya memang akan membawa kita melihat apa yang dituliskan Pram dengan tidak beda jauh dengan apa yang kita imajinasikan.

Sebuah komentar pedas dari seorang Netizen yang sebenarnya adalah saya sendiri saya kutip untuk menjadi pamungkas dalam tulisan saya ini.

“Pramis tingkat syariatlah yang menanggapi pemfilman Bumi Manusia dengan teriakan Boikot!”

Selemah itukah imajinasi tentang Minke sehingga kita seketakutan ini menghadapi film Bumi Manusia garapan Hanung ? Saya tetap akan datang, menonton film Bumi Manusia dan kemudian memberikan apresiasi! Bukankah ini hidup?

 

“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

  • Pramoedya Ananta Toer, House of Glass.

 

 

Cerita Ayahku tentang Sore, Hujan dan Kopi

moon-images-at-night-dowload

“Semua orang memiliki kisah sedih, tetapi tidak semua yang memiliki kesedihan menjadi penulis”

Kata ayahku masih terngiang di benakku, sebuah kata yang diucapkannya padaku belasan tahun lalu, tepat dimana malam itu langit begitu cerah, bulan merekah dengan gagahnya, bintang dan binatang malam mulai menunjukkan diri setelah hujan sore membekukan desa kami.

Aku ingat sekali saat aku berlari menuju kamar mengambil jaket saat disuruh ayahku, dia memintaku memakai jaket sebelum dia berjanji akan bercerita tentang Sore, Hujan, dan Kopi. Tiga kata yang sering dipakai oleh ayahku dalam tulisannya, dan dalam polosnya waktu itu saat aku berumur delapan tahun aku menanyakan kenapa harus tiga kata itu?

Saat itu, ayahku duduk di teras depan rumah, wajahnya menengadah ke arah langit, atau mungkin lebih jauh lagi, dia menatap ibu yang sudah pergi saat melahirku. Seorang perempuan cantik yang kuketahui dari foto hitam putih terawat yang berada di meja samping kamar tidur ayahku. Setelah kupakai jaketku, aku kembali berlari melewati ruang tengah menuju ayahku yang tentu saja sudah menunggu.

Kupeluk ayahku dari belakang, kemudian dengan cepat aku telah berpindah duduk di sampingnya sembari bersandar di  bahunya setelah jemari tangannya mengusap lembut kepalaku.

“Ceritakan lagi ayah, kenapa selalu tiga kata itu selalu yang kau pilih?”

Ayahku menatapku lembut, kemudian dengan tangan kanannya dia menarikku agar semakin rapat dengan tubuhnya, aku mencium bau almari tua, sebuah bau yang menjadi ciri khas ayahku, ya, dia memiliki aroma tubuh yang unik, bau almari tua seperti yang berada di dapur rumahku.

“Kopi, Hujan dan Sore, kenapa ayah selalu menggunakan ketiga kata itu dalam setiap cerita yang ayah tuliskan?”

Ku ulangi lagi pertanyaan, mungkin rasa penasaran kanak-kanakku ingin terpuaskan pada malam itu, dan dengan tenangnya ayah selalu membalas dengan senyum yang tak kumengerti, membalas dengan senyum yang hanya melahirkan pertanyaan baru untukku. Kesedihan apa yang sebenarnya ingin dia sembunyikan?

Dan kemudian, ayah mulai bercerita tentang kisah-kisah para Nabi dan Rasul di dunia, tanpa mukjizat dan tanpa keajaiban seperti yang dikisahkan oleh guru-guru agama atau buku-buku cerita yang biasa kubaca. Dia bercerita tentang mereka selayaknya manusia biasa, yang bisa kujangkau dengan pikiranku kala itu, meski ada kekecewaan kenapa dalam cerita ayahku, mereka tidak seperti yang ingin kuimajinasikan, tetapi inilah ayahku, dengan ceritanya yang kadang dia tuliskan dan kadang dia bagi berdua denganku saja.

“Kenapa ayah menceritakan kisah nabi-nabi padaku? Bukankah aku ingin mendengar ayah bercerita kenapa ayah suka menuliskan hujan, sore dan kopi?”

Ayah tidak mengubrisku, dia masih tetap bercerita tentang Nabi Yakub sampai ke anaknya Nabi Yusuf, tentang iri dengki, tanpa mukjizat tentang mimpi-mimpi, ayahku bercerita tanpa berlebihan, biasa saja dia menceritakan selayaknya manusia umumnya, dia punya persepsi sendiri tentang keNabian mungkin, tetapi cerita-ceritanya selalu menyita perhatianku, karena sudut pandang yang dihadirkan dari setiap tokoh yang dia bawakan selalu jelas dan mudah untuk ku imajinasikan, termasuk kelogisan tanpa harus melulu dengan keajaiban. Tetapi entah kenapa aku selalu tidak marah, dan aku selalu menikmatinya, menikmati alur cerita yang mengecohku dari apa yang ingin ku ketahui, cerita ayah adalah suatu keajaiban tersendiri bagiku, sebuah cerita yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh ayahku, membuat cerita sehingga aku berhasil tumbuh dengan dewasa dalam pandangan yang sederhana tanpa banyak cerita fiksi yang tak mampu kugapai dengan akal budiku.

Hingga pada suatu malam, mungkin setelah beberapa tahun berlalu, saat itu yang aku ingat aku sudah kelas tiga SMA, aku di panggil ayahku, kulitnya waktu itu makin hitam, tubuhnya makin kurus, dan mulai sering batuk-batuk. Meski demikian, dia tidak pernah berhenti merokok, entah sudah berapa kali aku mengingatkannya untuk berhenti, tetapi dia selalu tersenyum dan berkata, bahwa hidup ini milikmu sendiri, bukan milik orang lain, kau yang menanam dan kau juga yang akan memetik, tetapi bukan itu poinya, poinya adalah kau harus sadar terlebih dahulu untuk memikirkan dan melakukan apa yang nantinya akan kau pilih untuk kau tanam dalam hidupmu. Dan seperti biasanya aku hanya terdiam, kalimatnya selalu diplomatis, terlalu mengedepankan bahasa-bahasa yang luas tafsir, menyanggahnya hanya akan menjadi perdebatan yang menghasilakan ruang yang semakin tak terbatas.

“Ara, apakah kau masih ingin tahu tentang Sore, Hujan dan Kopi dalam setiap cerita yang ayah tuliskan dalam setiap cerita ayah?” Mata ayah menatapku tajam, seakan memaksaku untuk mengatakan iya, meski tanpa terpaksapun aku sudah pasti akan mengatakan iya, bukankah ini sebuah pertanyaan yang tidak pernah diberikan kepadaku dari malam dimana aku bertanya pertama kali. Aku duduk disamping ayah, seperti pada cerita sebelumnya, kami memandang langit luas, mendengar suara jankrik dan katak bersahut-sahutan yang diselingi hembusan angin pada pohon sawo di depan rumah.

“Sore, Hujan dan Kopi”.

Ayah menatapku

“Sore Ara, bagi sebagian orang adalah waktu dimana kesedihan, kemuraman, kebastrakan rasa, kepergian tanpa kepulangan atau bermacam-macam persepsi lainnya yang ditangkap oleh manusia kebanyakan adalah suatu bentuk subjektif yang biasa lahir tergantung kenangan kuat apa yang kita dapatkan. Sebagain besar seperti kata ayah menganggap sore adalah waktu muram, tidak masalah, mereka selalu merasainya seperti itu, ingatan tentang sore membentuk mereka untuk menghasilkan persepsi seperti itu, sore saat kecil biasa digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil untuk segera pulang sebelum diculik oleh wewe yang keluar dari sarangnya, sore adalah waktu kita berpisah dengan teman-teman bermain kita karena kita harus pulang kerumah di tengah asiknya bermain, ada kesedihan disana, ada perpisahan yang dipaksakan berkesudahan. Tetapi tidak bagi ayah, sore adalah waktu dimana ada sebuah persaan yang heba datang dalam hidup ayah, waktu yang memberikan kenangan besar bagi ayah, sebuah persaan yang bagi ayah itu adalah suatu keajaiban tersendiri”

Ayah kembali memandangku

“Keajaiban seperti apa yang ayah dapatkan? Bukankah ayah tidak percaya dengan hal-hal seperti itu?” Jawabku sembari melihat mata ayahku, sebuah mata yang kucintai, ada kebijaksanaan disana, ada samudra dengan ketenangan yang tak pernah kudapati dari mata manusia lainya yang selama ini kutemui, dan mungkin malam itu aku baru menyadari bahwa mata ayahku adalah alasan kenapa aku selalu tidak pernah bisa marah padanya, segala kemarahan seakan lenyap, tak berdaya dalam teduh mata yang kuat itu.

“Keajaiban tidak melulu harus berbentuk seperti itu anakku, keajaiban adalah suatu yang membuat hidupmu bergetar hebat, sesuatu yang tidak bisa kau paksakan untuk menolaknya saat dia datang, ada ketakutan, ada kebahagiaan yang membuat dirimu bertekuk lutut pada dirimu sendiri dalam perasaan yang membuncah”

“Aku tidak mengerti yah”

“Kau tidak harus mengerti sekarang, kau masih banyak waktu untuk mempersiapkan kedatangannya”

“Kapan?”

“Keajaiban itu tidak bisa kita ketahui datangnya kapan, berbentuk seperti apa, atau dalam peristiwa apa, yang pasti, bersyukurlah manusia yang pernah mengalaminya”

“Jadi kenapa ayah menuliskan sore adalah karena ayah memiliki kenangan hebat pada saat itu”

“Ya, itulah kenapa ayah selalu menuliskan sore, sebagai latar waktu yang kuat dalam cerita-cerita yang ayah tuliskan”

“Baiklah, dan keajaiban seperti apakah itu yah?”

“Keajaiban itu adalah kamu Ara”

Aku terdiam, entah kenapa pada saat itu juga air mataku menetes, sebuah cerita pada malam lainnya tentang ibu yang meninggal pada saat melahirkanku menjadikan kecamuk tersendiri di dadaku, ada rasa sesak, kubayangkan dalam posisi ayahku, ditinggalkan seorang istri yang sangat dicintainya, perempuan yang dalam beberapa kisah yang diceritakan oleh ayahku sebagai seorang perempuan merdeka yang melawan kekangan adat budaya. Aku tak mampu menahannya, isak tangiskupun keluar. Ayah memelukku, dan kemudian mengusap rambutku dengan lembut dan tenang, tidak ada kebingungan atau kepanikan sama sekali untuk menghadapiku.

“Kau tahu Ara? Meski ibumu meninggal saat melahirkanmu, itu bukan karena kesalahanmu yang harus datang kemudian akhirnya maut merenggut satu-satunya perempuan yang sangat kucintai. Sore itu ibumu menangis saat mendengar tangisan pertamamu, sebuah tangisan bahagia yang baru pertama kali ayah lihat dalam hidup ayah, tangisan yang sama. Kita pernah menangis bertiga bersama-sama Ara. Aku, Ibumu dan kamu, Sore adalah waktu pertama kali kita bersama-sama menangis bertiga”

“dan untuk terakhir kalinya” potongku.

“Ya, dan meski untuk terakhir kalinya, bagi ayah itu tidaklah begitu berbekas, moment saat kita bertemu bertiga dan berbahagia dalam tangisan itulah moment dimana ayah tidak bisa melupakan tentang sore”

Isak tangisku semakin menjadi, aku mengerti benar bagaimana ayahku mencintai ibuku meski aku tidak pernah melihatnya.

“Hujan?” ayahku memecah keheningan perbincangan kami. Aku menatapnya, kemudian menghapus air mata di pipiku, dan sepertinya ayah tahu bahwa aku telah siap untuk mendengar tentang hujan.

“Apa yang kau pikirkan tentang hujan Ara?”

“Kesedihan lagikah ayah?”

“Anakku, ayah ingin mendengar pendapatmu sendiri, jangan bertanya bahwa jawabanmu memiliki nilai benar dan salah di mata ayah, kau memiliki kehidupan sendiri, kau memiliki dunia yang kau ciptakan dalam pikiranmu, tidak ada kebenaran atau kesalahan saat kau menginterprestasikan hujan sayangku. Katakan apa yang terbesit dalam pikiranmu tentang hujan?”

“Rumah”

Ayah menoleh ke arahku, mungkin jawabanku memberi kejutan tersendiri baginya.

“Kau mengejutkan ayah, dan itulah kejujuran sebagai manusia nak, sebelum ayah bercerita tentang hujan dalam cerita ayah, bolehlah ayah memberi sedikit nasehat kepadamu?”

Aku mengangguk.

“Kau adalah manusia nak, ayahpun begitu, kita memiliki ingatan sendiri-sendiri, dan akhirnya melahirkan perasaan yang tersimpan baik dalam otak kita. Tetapi dunia tidak sedang berkembang kearah sana, banyak manusia yang tidak lagi memiliki ingatannya sendiri, ingatan mereka dibentuk, diminta agar sesuai dengan kebenaran dan kesalahan umum, ingatan-ingatan akan melahirkan nilai benar dan salah, yang pada akhirnya kedua hal tersebutlah yang lebih berkuasa atas diri kita. Kau tak perlu takut  untuk berkata apapun tentang dirimu sendiri, benar dan salah jangan pernah menghalangimu untuk berkata-kata, manusia tidak harus mendengar apa yang ingin mereka dengar, begitu juga sebaliknya, mereka harus mau mendengar apa yang tidak ingin mereka dengar. Kau memiliki kenangan dalam pikiranmu tentang hujan adalah rumah, dan jujur saja ayah bahagia mendengarnya, tidak ada terbesit dalam pikiran ayah tentang hubungan hujan dan rumah. Kau memberi warna tersendiri nak, keberanianmu untuk mengatakan siapa dirimu sebenarnya adalah keutamaan”

“Lalu apa yang ayah pikirkan tentang hujan?”

“Hujan bagi ayah adalah Ibumu”

“Kenapa ibu ayah?”

“Kenapa juga rumah Ara?”

“Karena pada saat hujan turun, Ara selalu ingin segera sampai di rumah, entah kenapa saat hujan Ara ingin selalu pulang, berada di dalam rumah membuat Ara merasa nyaman, aman, berada di dekat ayah. Lalu kenapa ayah mengingat hujan sebagai ibu?”

“Hujan itu anggun Ara, dia tenang, dia menjadi dirinya sendiri, tidak begitu banyak tingkah, mengalir sesuai prosesnya, lahir datang dan pergi, tanpa menjadi palsu, tanpa harus mengikuti keinginan manusia, dia ingin menjelma menjadi gerimis, hujan atau badai sekalipun dia adalah dia, dia menjadi yang dia inginkan dalam keberadaanya. Meski bagaimanapun dia datang dengan bentuknya dan kemudian reda, dia akan datang kembali, dia abadi Ara. Dan begitu juga dengan Ibumu. Dia abadi”

“Abadi?”

“Ya, abadi”

“Dalam ingatan kitakah ayah?”

Ayah tersenyum

“Ara, meski kata abadi sering disematkan kepada mereka yang telah pergi tetapi masih diingat dalam benak manusia adalah pembahasaan yang menarik dan puitik, tetapi abadi yang ayah maksud sebenarnya lebih dari itu Ara, abadi yang lebih jauh dan dalam, sebuah keabadian yang benar-benar ada”

“Aku tidak mengerti ayah”

“Tidak semua hal harus dimengerti sekarang Ara, ada waktu yan tepat untuk akhirnya kau tahu itu”

“Jawaban ayah kenapa selalu klise seperti itu?”

“Bukankah malam ini ayah tadi berkata hanya akan menjelaskan kenapa ayah memasukkan kata-kata sore, hujan dan kopi Ara?”

“Apakah kau ingin tahu tentang Kopi?”

“Ya”

“Kau tentu penasaran kenapa ayahmu selalu menuliskan kopi padahal ayah tidak pernah minum kopi, dan lebih memilih kau membuatkan es teh untuk ayah” jawab ayahku sambil tersenyum, kulihat ada kelucuan yang dia miliki sendiri terhadap kopi.

“Ceritakan padaku ayah, tentang Kopi, kata yang tidak pernah kau nikmati”

“Ah anak ayah sudah pandai bermain kata-kata rupanya”

Ayah sepertinya lebih serius kali ini, entah mengapa dia mengambil posisi untuk siap bercerita tentang sesuatu yang lebih dari sekedar Sore dan Hujan.  Dan kemudian ayah menceritakan tentang kopi kepadaku, dia mengawali dari betapa banyak penulis yang menyukai kopi, entah kenapa, entah kenapa juga ayah juga menyoroti kenapa penulis harus berambut gondorng, dan masih banyak lagi soal seniman seperti dirinya yang lama-lama menjadi lucu dimatanya, kemudian dia menceritakan kopi yang berkorelasi dengan dunia filsafat yang tidak aku mengerti, banyak perbendaharaan kata-kata baru yang dikatakan oleh ayahku, hampir sebagian besar adalah pemaknaan baru, cara pandang, dan tentu saja rumit, aku tidak mengerti dan kepalaku sedikit pusing dibuatnya. Kau ingin mendengarkan cerita tentang kopi yang berujung filsafat ini?

Malam ini, dia sedang berbaring di depanku, pakainnya lebih baik dari biasanya, setelan jas dan rambut tersisir, rapi terlihat muda dari seharusnya, mungkin karena bedak, bibirnya masih merah jelas, meski tanpa lipstik, keberuntungan dirinya meski seorang perokok dia tetap memiliki bibir berwarna merah, hanya saja malam ini dia tidak berbau lemari tua, dia terlalu wangi misk yang membuat malam ini sedikit aku menjadi tidak mengenalinya.

Buku-bukunya masih tertata di rak buku kamarnya, katanya semua untukku malam ini, kecuali satu, sebuah buku yang digenggam dalam pelukkannya itu, sebuah buku yang hanya boleh menjadi miliknya saja, sebuah rahasia lain yang ingin dibawanya sendiri. Buku itu memang bukan barang asing bagiku, aku pernah melihatnya beberapa kali, tetapi sejurus kemudian saat ayah sedang melihatku memegangnya, ayah selalu mengambilnya dariku, memintanya dan kemudian membuat suatu percakapan yang menggiringku ke arah dimana aku akan melupakan buku itu. Hanya saja yang dapat aku ingat adalah bahwa buku itu berisi tulisan tangan, sebuah buku Diari atau mungkin cerita-cerita yang tak ingin ayah bagi kepada siapapun kecuali untuk dirinya sendiri.

Setidaknya amanat untuk membuat buku itu bersamanya telah aku penuhi, meski gejolak dalam hati ingin sekali aku melihat apa isi dari buku itu begitu puncaknya, aku mampu menahan diri, ada rasa hormat atas sebuah pribadi pada ayahku, kehidupan bukan tentang apa yang ingin kau miliki, rasa haus itu harus ditahan, sebagaimana sebuah cerita tentang Musa yang menahan diri setelah turun dari bukit Sinai yang pernah ayah ceritakan padaku, tentang menjadi manusia yang tidak sepenuhnya harus memikirkan diri sendiri, ada pertimbangan bagaimana bersikap sebagai manusia yang menghargai pribadi-pribadi. Mungkin suatu saat aku akan menceritakan kisah-kisah itu padamu, sehingga kita memiliki sudut pandang yang sama dalam memandang sebuah hidup sebagai sesama manusia.