“Semua orang memiliki kisah sedih, tetapi tidak semua yang memiliki kesedihan menjadi penulis”
Kata ayahku masih terngiang di benakku, sebuah kata yang diucapkannya padaku belasan tahun lalu, tepat dimana malam itu langit begitu cerah, bulan merekah dengan gagahnya, bintang dan binatang malam mulai menunjukkan diri setelah hujan sore membekukan desa kami.
Aku ingat sekali saat aku berlari menuju kamar mengambil jaket saat disuruh ayahku, dia memintaku memakai jaket sebelum dia berjanji akan bercerita tentang Sore, Hujan, dan Kopi. Tiga kata yang sering dipakai oleh ayahku dalam tulisannya, dan dalam polosnya waktu itu saat aku berumur delapan tahun aku menanyakan kenapa harus tiga kata itu?
Saat itu, ayahku duduk di teras depan rumah, wajahnya menengadah ke arah langit, atau mungkin lebih jauh lagi, dia menatap ibu yang sudah pergi saat melahirku. Seorang perempuan cantik yang kuketahui dari foto hitam putih terawat yang berada di meja samping kamar tidur ayahku. Setelah kupakai jaketku, aku kembali berlari melewati ruang tengah menuju ayahku yang tentu saja sudah menunggu.
Kupeluk ayahku dari belakang, kemudian dengan cepat aku telah berpindah duduk di sampingnya sembari bersandar di bahunya setelah jemari tangannya mengusap lembut kepalaku.
“Ceritakan lagi ayah, kenapa selalu tiga kata itu selalu yang kau pilih?”
Ayahku menatapku lembut, kemudian dengan tangan kanannya dia menarikku agar semakin rapat dengan tubuhnya, aku mencium bau almari tua, sebuah bau yang menjadi ciri khas ayahku, ya, dia memiliki aroma tubuh yang unik, bau almari tua seperti yang berada di dapur rumahku.
“Kopi, Hujan dan Sore, kenapa ayah selalu menggunakan ketiga kata itu dalam setiap cerita yang ayah tuliskan?”
Ku ulangi lagi pertanyaan, mungkin rasa penasaran kanak-kanakku ingin terpuaskan pada malam itu, dan dengan tenangnya ayah selalu membalas dengan senyum yang tak kumengerti, membalas dengan senyum yang hanya melahirkan pertanyaan baru untukku. Kesedihan apa yang sebenarnya ingin dia sembunyikan?
Dan kemudian, ayah mulai bercerita tentang kisah-kisah para Nabi dan Rasul di dunia, tanpa mukjizat dan tanpa keajaiban seperti yang dikisahkan oleh guru-guru agama atau buku-buku cerita yang biasa kubaca. Dia bercerita tentang mereka selayaknya manusia biasa, yang bisa kujangkau dengan pikiranku kala itu, meski ada kekecewaan kenapa dalam cerita ayahku, mereka tidak seperti yang ingin kuimajinasikan, tetapi inilah ayahku, dengan ceritanya yang kadang dia tuliskan dan kadang dia bagi berdua denganku saja.
“Kenapa ayah menceritakan kisah nabi-nabi padaku? Bukankah aku ingin mendengar ayah bercerita kenapa ayah suka menuliskan hujan, sore dan kopi?”
Ayah tidak mengubrisku, dia masih tetap bercerita tentang Nabi Yakub sampai ke anaknya Nabi Yusuf, tentang iri dengki, tanpa mukjizat tentang mimpi-mimpi, ayahku bercerita tanpa berlebihan, biasa saja dia menceritakan selayaknya manusia umumnya, dia punya persepsi sendiri tentang keNabian mungkin, tetapi cerita-ceritanya selalu menyita perhatianku, karena sudut pandang yang dihadirkan dari setiap tokoh yang dia bawakan selalu jelas dan mudah untuk ku imajinasikan, termasuk kelogisan tanpa harus melulu dengan keajaiban. Tetapi entah kenapa aku selalu tidak marah, dan aku selalu menikmatinya, menikmati alur cerita yang mengecohku dari apa yang ingin ku ketahui, cerita ayah adalah suatu keajaiban tersendiri bagiku, sebuah cerita yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh ayahku, membuat cerita sehingga aku berhasil tumbuh dengan dewasa dalam pandangan yang sederhana tanpa banyak cerita fiksi yang tak mampu kugapai dengan akal budiku.
Hingga pada suatu malam, mungkin setelah beberapa tahun berlalu, saat itu yang aku ingat aku sudah kelas tiga SMA, aku di panggil ayahku, kulitnya waktu itu makin hitam, tubuhnya makin kurus, dan mulai sering batuk-batuk. Meski demikian, dia tidak pernah berhenti merokok, entah sudah berapa kali aku mengingatkannya untuk berhenti, tetapi dia selalu tersenyum dan berkata, bahwa hidup ini milikmu sendiri, bukan milik orang lain, kau yang menanam dan kau juga yang akan memetik, tetapi bukan itu poinya, poinya adalah kau harus sadar terlebih dahulu untuk memikirkan dan melakukan apa yang nantinya akan kau pilih untuk kau tanam dalam hidupmu. Dan seperti biasanya aku hanya terdiam, kalimatnya selalu diplomatis, terlalu mengedepankan bahasa-bahasa yang luas tafsir, menyanggahnya hanya akan menjadi perdebatan yang menghasilakan ruang yang semakin tak terbatas.
“Ara, apakah kau masih ingin tahu tentang Sore, Hujan dan Kopi dalam setiap cerita yang ayah tuliskan dalam setiap cerita ayah?” Mata ayah menatapku tajam, seakan memaksaku untuk mengatakan iya, meski tanpa terpaksapun aku sudah pasti akan mengatakan iya, bukankah ini sebuah pertanyaan yang tidak pernah diberikan kepadaku dari malam dimana aku bertanya pertama kali. Aku duduk disamping ayah, seperti pada cerita sebelumnya, kami memandang langit luas, mendengar suara jankrik dan katak bersahut-sahutan yang diselingi hembusan angin pada pohon sawo di depan rumah.
“Sore, Hujan dan Kopi”.
Ayah menatapku
“Sore Ara, bagi sebagian orang adalah waktu dimana kesedihan, kemuraman, kebastrakan rasa, kepergian tanpa kepulangan atau bermacam-macam persepsi lainnya yang ditangkap oleh manusia kebanyakan adalah suatu bentuk subjektif yang biasa lahir tergantung kenangan kuat apa yang kita dapatkan. Sebagain besar seperti kata ayah menganggap sore adalah waktu muram, tidak masalah, mereka selalu merasainya seperti itu, ingatan tentang sore membentuk mereka untuk menghasilkan persepsi seperti itu, sore saat kecil biasa digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil untuk segera pulang sebelum diculik oleh wewe yang keluar dari sarangnya, sore adalah waktu kita berpisah dengan teman-teman bermain kita karena kita harus pulang kerumah di tengah asiknya bermain, ada kesedihan disana, ada perpisahan yang dipaksakan berkesudahan. Tetapi tidak bagi ayah, sore adalah waktu dimana ada sebuah persaan yang heba datang dalam hidup ayah, waktu yang memberikan kenangan besar bagi ayah, sebuah persaan yang bagi ayah itu adalah suatu keajaiban tersendiri”
Ayah kembali memandangku
“Keajaiban seperti apa yang ayah dapatkan? Bukankah ayah tidak percaya dengan hal-hal seperti itu?” Jawabku sembari melihat mata ayahku, sebuah mata yang kucintai, ada kebijaksanaan disana, ada samudra dengan ketenangan yang tak pernah kudapati dari mata manusia lainya yang selama ini kutemui, dan mungkin malam itu aku baru menyadari bahwa mata ayahku adalah alasan kenapa aku selalu tidak pernah bisa marah padanya, segala kemarahan seakan lenyap, tak berdaya dalam teduh mata yang kuat itu.
“Keajaiban tidak melulu harus berbentuk seperti itu anakku, keajaiban adalah suatu yang membuat hidupmu bergetar hebat, sesuatu yang tidak bisa kau paksakan untuk menolaknya saat dia datang, ada ketakutan, ada kebahagiaan yang membuat dirimu bertekuk lutut pada dirimu sendiri dalam perasaan yang membuncah”
“Aku tidak mengerti yah”
“Kau tidak harus mengerti sekarang, kau masih banyak waktu untuk mempersiapkan kedatangannya”
“Kapan?”
“Keajaiban itu tidak bisa kita ketahui datangnya kapan, berbentuk seperti apa, atau dalam peristiwa apa, yang pasti, bersyukurlah manusia yang pernah mengalaminya”
“Jadi kenapa ayah menuliskan sore adalah karena ayah memiliki kenangan hebat pada saat itu”
“Ya, itulah kenapa ayah selalu menuliskan sore, sebagai latar waktu yang kuat dalam cerita-cerita yang ayah tuliskan”
“Baiklah, dan keajaiban seperti apakah itu yah?”
“Keajaiban itu adalah kamu Ara”
Aku terdiam, entah kenapa pada saat itu juga air mataku menetes, sebuah cerita pada malam lainnya tentang ibu yang meninggal pada saat melahirkanku menjadikan kecamuk tersendiri di dadaku, ada rasa sesak, kubayangkan dalam posisi ayahku, ditinggalkan seorang istri yang sangat dicintainya, perempuan yang dalam beberapa kisah yang diceritakan oleh ayahku sebagai seorang perempuan merdeka yang melawan kekangan adat budaya. Aku tak mampu menahannya, isak tangiskupun keluar. Ayah memelukku, dan kemudian mengusap rambutku dengan lembut dan tenang, tidak ada kebingungan atau kepanikan sama sekali untuk menghadapiku.
“Kau tahu Ara? Meski ibumu meninggal saat melahirkanmu, itu bukan karena kesalahanmu yang harus datang kemudian akhirnya maut merenggut satu-satunya perempuan yang sangat kucintai. Sore itu ibumu menangis saat mendengar tangisan pertamamu, sebuah tangisan bahagia yang baru pertama kali ayah lihat dalam hidup ayah, tangisan yang sama. Kita pernah menangis bertiga bersama-sama Ara. Aku, Ibumu dan kamu, Sore adalah waktu pertama kali kita bersama-sama menangis bertiga”
“dan untuk terakhir kalinya” potongku.
“Ya, dan meski untuk terakhir kalinya, bagi ayah itu tidaklah begitu berbekas, moment saat kita bertemu bertiga dan berbahagia dalam tangisan itulah moment dimana ayah tidak bisa melupakan tentang sore”
Isak tangisku semakin menjadi, aku mengerti benar bagaimana ayahku mencintai ibuku meski aku tidak pernah melihatnya.
“Hujan?” ayahku memecah keheningan perbincangan kami. Aku menatapnya, kemudian menghapus air mata di pipiku, dan sepertinya ayah tahu bahwa aku telah siap untuk mendengar tentang hujan.
“Apa yang kau pikirkan tentang hujan Ara?”
“Kesedihan lagikah ayah?”
“Anakku, ayah ingin mendengar pendapatmu sendiri, jangan bertanya bahwa jawabanmu memiliki nilai benar dan salah di mata ayah, kau memiliki kehidupan sendiri, kau memiliki dunia yang kau ciptakan dalam pikiranmu, tidak ada kebenaran atau kesalahan saat kau menginterprestasikan hujan sayangku. Katakan apa yang terbesit dalam pikiranmu tentang hujan?”
“Rumah”
Ayah menoleh ke arahku, mungkin jawabanku memberi kejutan tersendiri baginya.
“Kau mengejutkan ayah, dan itulah kejujuran sebagai manusia nak, sebelum ayah bercerita tentang hujan dalam cerita ayah, bolehlah ayah memberi sedikit nasehat kepadamu?”
Aku mengangguk.
“Kau adalah manusia nak, ayahpun begitu, kita memiliki ingatan sendiri-sendiri, dan akhirnya melahirkan perasaan yang tersimpan baik dalam otak kita. Tetapi dunia tidak sedang berkembang kearah sana, banyak manusia yang tidak lagi memiliki ingatannya sendiri, ingatan mereka dibentuk, diminta agar sesuai dengan kebenaran dan kesalahan umum, ingatan-ingatan akan melahirkan nilai benar dan salah, yang pada akhirnya kedua hal tersebutlah yang lebih berkuasa atas diri kita. Kau tak perlu takut untuk berkata apapun tentang dirimu sendiri, benar dan salah jangan pernah menghalangimu untuk berkata-kata, manusia tidak harus mendengar apa yang ingin mereka dengar, begitu juga sebaliknya, mereka harus mau mendengar apa yang tidak ingin mereka dengar. Kau memiliki kenangan dalam pikiranmu tentang hujan adalah rumah, dan jujur saja ayah bahagia mendengarnya, tidak ada terbesit dalam pikiran ayah tentang hubungan hujan dan rumah. Kau memberi warna tersendiri nak, keberanianmu untuk mengatakan siapa dirimu sebenarnya adalah keutamaan”
“Lalu apa yang ayah pikirkan tentang hujan?”
“Hujan bagi ayah adalah Ibumu”
“Kenapa ibu ayah?”
“Kenapa juga rumah Ara?”
“Karena pada saat hujan turun, Ara selalu ingin segera sampai di rumah, entah kenapa saat hujan Ara ingin selalu pulang, berada di dalam rumah membuat Ara merasa nyaman, aman, berada di dekat ayah. Lalu kenapa ayah mengingat hujan sebagai ibu?”
“Hujan itu anggun Ara, dia tenang, dia menjadi dirinya sendiri, tidak begitu banyak tingkah, mengalir sesuai prosesnya, lahir datang dan pergi, tanpa menjadi palsu, tanpa harus mengikuti keinginan manusia, dia ingin menjelma menjadi gerimis, hujan atau badai sekalipun dia adalah dia, dia menjadi yang dia inginkan dalam keberadaanya. Meski bagaimanapun dia datang dengan bentuknya dan kemudian reda, dia akan datang kembali, dia abadi Ara. Dan begitu juga dengan Ibumu. Dia abadi”
“Abadi?”
“Ya, abadi”
“Dalam ingatan kitakah ayah?”
Ayah tersenyum
“Ara, meski kata abadi sering disematkan kepada mereka yang telah pergi tetapi masih diingat dalam benak manusia adalah pembahasaan yang menarik dan puitik, tetapi abadi yang ayah maksud sebenarnya lebih dari itu Ara, abadi yang lebih jauh dan dalam, sebuah keabadian yang benar-benar ada”
“Aku tidak mengerti ayah”
“Tidak semua hal harus dimengerti sekarang Ara, ada waktu yan tepat untuk akhirnya kau tahu itu”
“Jawaban ayah kenapa selalu klise seperti itu?”
“Bukankah malam ini ayah tadi berkata hanya akan menjelaskan kenapa ayah memasukkan kata-kata sore, hujan dan kopi Ara?”
“Apakah kau ingin tahu tentang Kopi?”
“Ya”
“Kau tentu penasaran kenapa ayahmu selalu menuliskan kopi padahal ayah tidak pernah minum kopi, dan lebih memilih kau membuatkan es teh untuk ayah” jawab ayahku sambil tersenyum, kulihat ada kelucuan yang dia miliki sendiri terhadap kopi.
“Ceritakan padaku ayah, tentang Kopi, kata yang tidak pernah kau nikmati”
“Ah anak ayah sudah pandai bermain kata-kata rupanya”
Ayah sepertinya lebih serius kali ini, entah mengapa dia mengambil posisi untuk siap bercerita tentang sesuatu yang lebih dari sekedar Sore dan Hujan. Dan kemudian ayah menceritakan tentang kopi kepadaku, dia mengawali dari betapa banyak penulis yang menyukai kopi, entah kenapa, entah kenapa juga ayah juga menyoroti kenapa penulis harus berambut gondorng, dan masih banyak lagi soal seniman seperti dirinya yang lama-lama menjadi lucu dimatanya, kemudian dia menceritakan kopi yang berkorelasi dengan dunia filsafat yang tidak aku mengerti, banyak perbendaharaan kata-kata baru yang dikatakan oleh ayahku, hampir sebagian besar adalah pemaknaan baru, cara pandang, dan tentu saja rumit, aku tidak mengerti dan kepalaku sedikit pusing dibuatnya. Kau ingin mendengarkan cerita tentang kopi yang berujung filsafat ini?
Malam ini, dia sedang berbaring di depanku, pakainnya lebih baik dari biasanya, setelan jas dan rambut tersisir, rapi terlihat muda dari seharusnya, mungkin karena bedak, bibirnya masih merah jelas, meski tanpa lipstik, keberuntungan dirinya meski seorang perokok dia tetap memiliki bibir berwarna merah, hanya saja malam ini dia tidak berbau lemari tua, dia terlalu wangi misk yang membuat malam ini sedikit aku menjadi tidak mengenalinya.
Buku-bukunya masih tertata di rak buku kamarnya, katanya semua untukku malam ini, kecuali satu, sebuah buku yang digenggam dalam pelukkannya itu, sebuah buku yang hanya boleh menjadi miliknya saja, sebuah rahasia lain yang ingin dibawanya sendiri. Buku itu memang bukan barang asing bagiku, aku pernah melihatnya beberapa kali, tetapi sejurus kemudian saat ayah sedang melihatku memegangnya, ayah selalu mengambilnya dariku, memintanya dan kemudian membuat suatu percakapan yang menggiringku ke arah dimana aku akan melupakan buku itu. Hanya saja yang dapat aku ingat adalah bahwa buku itu berisi tulisan tangan, sebuah buku Diari atau mungkin cerita-cerita yang tak ingin ayah bagi kepada siapapun kecuali untuk dirinya sendiri.
Setidaknya amanat untuk membuat buku itu bersamanya telah aku penuhi, meski gejolak dalam hati ingin sekali aku melihat apa isi dari buku itu begitu puncaknya, aku mampu menahan diri, ada rasa hormat atas sebuah pribadi pada ayahku, kehidupan bukan tentang apa yang ingin kau miliki, rasa haus itu harus ditahan, sebagaimana sebuah cerita tentang Musa yang menahan diri setelah turun dari bukit Sinai yang pernah ayah ceritakan padaku, tentang menjadi manusia yang tidak sepenuhnya harus memikirkan diri sendiri, ada pertimbangan bagaimana bersikap sebagai manusia yang menghargai pribadi-pribadi. Mungkin suatu saat aku akan menceritakan kisah-kisah itu padamu, sehingga kita memiliki sudut pandang yang sama dalam memandang sebuah hidup sebagai sesama manusia.