Kepentingan-Kepentingan

imagesjgg
Sore ini Alex berencana untuk bertemu dengan bang Iwan, sosok pemimpin supporter yang dia tolong saat terjadi kerusuhan antar supporter beberapa bulan yang lalu, dari situlah mulai terjadi kedekatan antara Alex dan Iwan.

“Sudah lama bang?”

Tanya Alex sembari mengambil kursi duduknya.

“Baru juga datang lex, masih penasaran dengan dunia supporter sepertinya”

“hahaha, iya bang, ternyata ada fanatisme yang tidak perlu dilandasi idealisme hahaha”

“Heisss….fanatisme supporter adalah fanatisme menakutkan kedua setelah fanatisme agama, tidak salah bukan jika sepak bola disebut sebagai second religion”. Balas bang Iwan sambil menyulut rokoknya.

“Seperti itukah bang?”

Alex membetulkan sikap duduknya, pelayan datang membawakan daftar menu, Alex memesan Black Punch sedangkan bang Iwan memesan memesan kopi hitam Aceh.

“Ya tentu saja Lex, kau tau bahwa menjadi bagian dari supporter adalah salah satu bentuk identitas. banyak faktor lain yang didalamnya dipengaruhi oleh emosional, kedaerahan dan kebersamaan.”

“Hahaha, iyalah, ada banyak hal yang belum tentu kau dapati dalam buku pelajaranmu, terlebih dalam mata kuliah revolusi pemerintahan hahaha” lanjut bang Iwan.

“ Apa kabar revolusi PSSI sendiri bang? Hahaha” Balas Alex mencoba tak mau kalah.

“Sialan kau Lex, mau menggali soal apa lagi ini dalam dunia supporter?” pangkas bang Iwan, mencoba menghentikan basa-basi pertanyaan pembuka.

“menggali soal merubah keadaan di PSSI bang” jawab Alex singkat penuh penekanan. Bang Iwan tahu bahwa sepertinya memang ini yang Alex ingin tanyakan dari dirinya. Diseruputnya pesanan kopi hitam Acehnya yang baru datang.

“Terlalu sulit untuk masuk langsung keranah itu Lex, kau tau dunia supporter Indonesia tidak lepas dari tangan-tangan penguasa disetiap daerah, banyak yang dijadikan komoditi dalam kampanye, supporter adalah target untuk mendulang suara saat pemilu, percayalah hal inilah yang membuat supporter menjadi tidak berarti”.

“Bagaimana dengan organisasi Independet?”

“Organisasi Independent tidak akan bertahan lama, jika memang tidak didukung oleh kekuatan ekonomi, dan tentunya kekuatan figuritas atau peluang terakhir adalah dia seorang yang memiliki kharismatik dan kekuatan untuk menggerakkan massa, dan perlu diingat Lex, skala tujuan adalah tingkat Nasional. Kau berurusan dengan penguasa berarti”

“Presiden?” Tanya Alex.

Bang Iwan tidak menjawab, dia hanya tersenyum sembari membelai jenggotnya yang tipis, sengaja dipanjangkan rupanya.

“Begitu pelik kah dunia supporter bang?”

“Bukan hanya pelik Lex, tapi mengenaskan”

Alex diam, tidak ada pertanyaan lagi dalam kepalanya, pikirannya menjadi kusut. Harapan untuk masuk keranah supporterpun kini tinggalah mimpi. Organisasi buruh sendiripun juga sudah banyak disetir oleh ormas dan lembaga-lembaga boneka elit politik sebagai wujud perlawanan. Tapi sayang, perlawanan mereka hanya untuk menggulingkan dan meraih kekuasaan.

Black Punch yang dipesannya terasa hambar, Alex tahu bahwa dia dibatasi oleh waktu. Perhitungannya tentang revolusi harus benar-benar tepat. Dia harus membaca peluang lain untuk mewujudkan impiannya.

“Kau harus memilih jalur baru, jangan kau korbankan supporter untuk tujuanmu, mereka belum siap untuk saat ini, tetapi jika suatu saat kamu membutuhkanku, hubungi saja Lex, jangan sungkan” Bang Iwan memegang pundak Alex, seakan mengerti apa yang dia pikirkan.

“Aku tahu apa yang kamu risaukan, diam-diam saya membaca blog milikmu hahaha”

Bang Iwan terkekeh, kali ini benar-benar lepas, asap rokok keluar dari sela-sela bibirnya yang terbuka.

“Iya bang, terima kasih” Jawab Alex tersenyum sambil mengeluarkan sebungkus rokok mild miliknya.

“Tapi sejauh ini mereka yang paling potensial Bang, mereka memiliki ikatan dan perasaan ditindas, klub mereka hanya jadi sarana ajang jual beli, lewat pengaturan skor, siapa kepala daerah yang kaya, dialah yang menang dalam liga tahun ini, bukankah begitu?”

“Ya, mereka tahu itu, mereka tahu soal segala busuknya sistem sepak bola kita, tapi mereka tidak punya kuasa, ingat Lex, musuh supporter bukan hanya didalam pemilik klub,tapi juga sampai tingkat kepala daerah, kementrian bahkan penguasa”

Mereka kini sama-sama merokok, kepulan asap berterbangan kesana-kemari, buyar terkena hembusan angin dari kipas angin.

“Presiden?” Alex bertanya lagi, dan lagi-lagi bang Iwan tidak menjawab.

Alex mengerti bahwa dalam hal ini banyak mafia, sepak bola memang menjadi lahan empuk untuk meraup untung, jual beli terjadi cepat disana, pasar yang menguntungkan antara penjual dan pembeli, dan semua berhubungan dengan supporter, klub menang supporter akan berterima kasih kepada pemilik, pencitraan untuk pemilu akan datang.

Live music di cafe dimulai, seperti biasa. Berarti ini sudah jam 9 malam. Alex hafal betul acara rutin di cafe ini. Bang Iwan mulai tampak mengalihkan perhatiannya pada Clara, vokalis band FrameOZ yang juga salah satu anggota kelompok supporternya. Gadis bertubuh kurus tinggi itu memang cantik dibawah cahaya temaram dari lampu cafe, terlebih saat sedang menyanyikan lagu Stairway to Heavennya Led Zeppelin.

Mereka berdua terdiam, Alex menikmati setiap batang rokoknya sambil terus berpikir tentang peluang-peluang, sedangkan bang Iwan tampak manggut-manggut menikmati permainan musik. Dari kejauhan tampak beberapa laki-laki datang masuk, mereka menggunakan jaket hitam gembung, beberapa kali celingukan akhirnya mereka menatap Alex dan Bang Iwan yang sedang duduk menikmati musik, setelah mereka beradu mata dengan bang Iwan, mereka melambaikan tangan pada bang Iwan dilanjutkan dengan panggilan Ndan! Dan wajah kegirangan.

Bang Iwan membalas dengan melambaikan tangan pula.

“Aku kesana sebentar ya Lex, biasa ngurus anak-anak dulu”

Bang Iwan pergi, berjalan meninggalkan Alex yang tengah menghabiskan rokok mildnya.

Lagu pertama selesai, entah apa judulnya, yang pasti lagu itu milik bang Queen.
Lagu kedua dipersiapkan, setelah Clara menyapa para pengunjung cafe yang hadir tentunya.

Black Punch yang tersisa dihabiskan oleh Alex. Dia masih terus mencari adanya kemungkinan atau celah yang bisa dia masuki dari dunia supporter. Tetapi apa.

Lirih terdengar intro dari Wonderwall nya OASIS.

Tiba-tiba Alex teringat kembali sosok Yujin, laki-laki seumuran dia yang berhasrat membentuk supporter modern independent, sosok yang bermimpi untuk melepaskan supporter kotanya dari campur tangan pemerintah. Berbagai teror telah diterima Yujin, baik dengan dikirmkannya preman-preman bayaran, atau diadu domba dengan kelompok supporter lain saat di stadion, tapi hal itu tak menyurutkan mimpi Yujin.

Menurut Yujin untuk berafiliasi dengan klub tidak mudah, harus bisa menerima keputusan dari pemegang saham yang tak lain adalah antek pemerintah pula, diatur dan itu sama saja bohong.

“Kita tidak bisa serta merta melakukan pembersihan dalam sepak bola, tetapi juga jangan malah dengan ikhlas menjadikan diri sebagai bagian dari kebobrokan tersebut.”

Sebagai contoh Yujin menjelaskan ada sebuah kelompok supporter disuatu daerah, mereka begitu hebat dalam berdiri, terkesan Independent dengan umur yang dibilang masih relatif muda, tetapi kenapa bisa begitu hebat dalam soal kreasi, ya begitu mudah. Hasil penyelidikan Yujin tak lain adalah karena mereka menjadi bagian dalam klub, dan yang membuat saya tersentak adalah bahwa Yujin berkata bahwa mereka “dimanfaatkan”. Mereka tak lain adalah penggembira dengan euforia trend baru didunia supporter saat ini. ULTRAS

Alex menjadi ingat akan slogan dari Orde Baru, “Buatlah mereka kenyang, mereka tidak akan menggigitmu” ya, benar mungkin mereka hanya euforia semata, mereka melupakan akan sesuatu yang salah didalamnya, bukankah bangsa ini populis, setiap trend yang ada membuat mereka lupa apa yang terjadi sebelumnya, atau bangsa ini terlalu pemaaf?.

“Ah tidak, apa yang harus dimaafkan jika diberikan kemenangan, sudahlah”

Alex menghela nafas panjang. Tidak disangkanya hampir semua sektor sudah begitu busuk. Hampir semuanya sudah begitu rusak oleh sistem yang telah mengakar puluhan tahun. Bangsa inipun juga sudah tidak lagi mau berdiri sendiri, mereka hanya penonton yang kadang menjadi sapi perahan pula. Mereka tak ingin repot ribet berurusan dengan sesuatu yang berat untuk dilawan. Mereka lebih memilih pasrah.

Tetapi tidak bagi Yujin, Yujin selalu menekankan bahwa sikap Independent lah yang harus diperjuangkan, berdiri sendiri tanpa disetir oleh rasa berterima kasih. Itulah dasar perjuangan katanya. Tetapi cara demikian memang cukup berat, dan banyak tantagan, baik diadu dengan supporter sendiri, ya tentuya mereka bayaran pula, atau bahkan dengan preman yang dikirim untuk menghabisi Yujin. Hanya keberuntungan yang membuat saya masih bertahan hidup sampai sekarang.

“Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Bergabung dengan Yujin kah?”

Jika aku masuk bersama Yujin, tentu Yujin juga akan menilai bahwa aku memiliki kepentingan politik atasnya. Aku harus cari jalan sendiri.

Dilihatnya bang Iwan yang sedang mengobrol dengan kawan-kawannya, sepertinya begitu serius mereka berbicara. Alex berjalan menghampiri, memohon pamit untuk pulang duluan pada bang Iwan.

“Supporter itu untuk klub Lex, bukan untuk politik” Kata bang Iwan sambil menjabat tangan Alex. Alex mengerti.

Akhirnya lagu Stairway to Heaven dinyanyikan oleh Clara.

Alex berjalan meninggalkan Mementomori-cafe, berjalan melewati lorong jalan tengah kota menuju taman kota, dilewatinya sekelompok pemuda yang berpakaian PUNK sedang asik teler disalah satu sudut lorong, dengan tertawa keras dan sebagian sempoyongan berjalan untuk kencing. Pemuda sekarang yang diharapkan untuk melanjutkan harapan terlalu sibuk menuntut. Terlalu banyak berteriak merdeka dan berteriak lawan penindasan. mereka malah tidak berbuat sesuatu. Apakah ini keberhasilan dari reformasi kemarin? Atau memang keberhasilan negara barat untuk melebarkan sayap kapitaslimenya dengan menghancurkan pemikiran bangsa dunia ketiga? Membiarkan bodoh dengan demokrasi yang belum siap untuk dimengerti. dikeruk keuntugan sumber daya alam dan manusianya. Tetapi berpikir demikian bukan jawaban, hanya membuat paranoid dan menanamkan rasa kebencian saja.
Dibuangnya jauh-jauh pemikiran tersebut. Sudah banyak yang menjadi korban akan propaganda ini, perusakan di frenchase-frenchase besar hanya karena dituduh bukan milik pribumi, dituduh bahwa mereka bagian dari sistem Zionis yang ingin menguasai pasar dunia, ah…kenapa harus berpikir demikian?? Ini bukan jawaban.

Kali ini teringat dia akan cerita Nadia, bahwa ada teman satu kosnya yang begitu paranoid dengan Zionis, Iluminati dan Alien, mereka takut dicuci otaknya dengan model pembuatan e-ktp yang dilakukan beberapa tahun lalu, dengan scaner mata, sidik jari dan mungkin diam-diam penanaman chip dalam otak. Betapa itu membuat geli, ketakutan bahwa suatu saat kita akan dikontrol untuk menjadi serupa, dikendalikan lebih tepatnya. Alex tersenyum mengingat hal konyol teman dari Nadia tersebut.

Betapa mudah seseorang menjadi begitu ketakutan.

Tapi bukankah secara tidak sadar kita sudah dikendalikan? Ya dengan pola pikir dan gaya hidup, kita disetir melalui media, terlebih adalah televisi, kita begitu serupa, fashion, fun dan figure, kita kehilangan jati diri dan kepribadian, tetapi kenapa banyak yang tidak sadar akan hal ini ?

“Kenapa?” sebuah tanda tanya besar muncul dalam pikiran Alex.

Hei…bukankah sebelumnya bangsa ini juga telah demikian, bangsa ini dulunya bukankah dikontrol oleh pemerintahan diktator? Kali ini pikiran Alex meloncat akan masa Orde Baru dimana semua media dikendalikan oleh pemerintah, tetapi kenapa pasca reformasi tidak membuahkan hasil yang bagus? Kenapa reformasi tidak dijadikan memontentum untuk mencerdasakan bangsa dengan memberikan pendidikan politik didalamnya?

Dan kenapa pula belakagan ini juga sering muncul propaganda dengan penilaian bahwa era Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era sekarang. Banyak yang menjadi apatis dan skeptis bahwa perubahan dari reformasi itu tidak akan membuahkan apa-apa, slogan “piye isih enak jaman ku to le ” dengan gambar wajah Soeharto diuang 50 ribuan dulu, menjadi lambang keputus-asaan, belum lagi teriakan-teriakan atau spanduk gelap bertuliskan “Kami tidak perlu belajar politik, yang kami mau adalah bisa makan” bayangkan dengan kata-kata demikian sama halnya menisbahkan diri untuk menjadi robot perbudakan, mereka mencabut kebebasan mereka sendiri, mereka rela dibodohi asalkan bisa makan. Ciih.

Lampu taman tampak remang, beberapa bohlamnya hilang dicuri. Alex duduk merutuki isi kepalanya. Pening.

“Semua hanya persepsi dari mataku saja” bisik lirih Alex sembari menutup wajahnya dengan kedua tanggannya, mencoba bersembunyi dalam gelap yang dilahirkan.

Tinggalkan komentar