Regina Scientiarum

Hasil gambar untuk Regina Scientiarum

Descartes, lelaki berambut gondrong mirip Slash Gun n Roses itu terus saja menggaruk-garuk kepalanya, aku tidak tahu pasti apa yang dipikirkannya, mungkin saja tentang ketidakhabis pikir dia terhadap Galen. Dia baru saja mengobrol dengan Galen sebelum Galen pergi lima menit yang lalu. Hujan belum reda benar, dan malam masih panjang.

“Ya mana aku tahu soal fisiologi eksperimental, dasar bedebah tua” gerutu Descartes sembari tetap menggaruk-garuk kepalanya.

Aku tersenyum melihat tingkah Descartes, memang menyebalkan ketika kita masuk ke dunia yang berbeda dan kita dibebani pembicaraan yang tidak masuk di perhatian akal kita. Saya mengerti susahnya seorang matematikawan Prancis seperti Descartes ini saat diajak berbicara tentang homeostasis, neurotransmiter, katekolamin dan hormon. Begitu juga  tentu sebaliknya jika saja tadi Descartes mau membahas tentang matematika, tentu Galen akan meremas-remas kepalanya juga, tetapi hal itu tidak dia lakukan, karena dia tahu bahwa Galen tidak akan pernah mau peduli. Memang pantas saja Galen dijuluki oleh kawan-kawan diskusinya di sini sebagai bedebah tua. Meski bukanlah yang paling tua sendiri dilingkaran diskusinya, tetapi sikap kaku dan kolotnya membuat dia dijuluki si bedebah tua.

*****

“Memang apa menariknya fisiologi eksperimental, toh tetap saja selalu ada matematika didalamnya, siapa yang akan membantu menjelaskan tentang perhitungan energi dalam siklus kreb, siapa yang akan membantu menghitung jumlah replikasi sel, dan perhitungan lain di biologi, siapa selain matematika?”

“Regina Scientiarum!!” Teriak Descartes sembari mengangkat gelas birnya dan mendongak ke atas, memandang langit, mencari Tuhan. Aku hanya tersenyum saja, kemudian menenggak bir yang kupesan. Kuputuskan malam ini keluar dari ruang diskusi untuk menyusul Descartes yang pasti memilih nongkrong di DasKap Cafe milik Marx saat emosinya sedang tidak stabil.

“Tapi bagaimana menurutmu jika pernyataan Einstein muncul untuk membalas pernyataanku?”  tanya Descartes sambil memandangku tajam.

“Pernyataan yang mana?” tanyaku sambil meletakkan botol bir di meja.

“Pernyataan tentang sejauh hukum-hukum matematika yang merujuk kepada kenyataan? Tentang matematika tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan.”  Terkaku.

“Ya, Jika sebagian besar teori matematika, yang salah satunya matematika biologi adalah bentuk hasil hipotesis-duktif: maka hipotesis-hipotesis dari ilmu biologi sebenarnya adalah dugaan saja bukan?……lebih daripada sebagai hal yang baru”. Lanjutnya, dan tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terlihat melemas, sepertinya pertanyaan ini menggerogoti kekuatan sendinya. Sepertinya pernyataan Einstein memang menghantam pemikiran-pemikirannya tentang matematika yang selama ini dipelajari dan dituliskannya dalam Discours de la méthode.

“Des, sebenarnya memang cukup berat bagiku untuk berkata bahwa bukan perkara ternyata menemukan biologi adalah ilmu yang konjektur, tetapi lebih menyedihkan lagi bahwa sebenarnya matematika tidak berguna, tidaklah eksis secara nyata, hanya membangun kebenaran melalui metode deduksi yang ketat turunan dari aksioma-aksioma dan definisi yang berkesesuaian saja” kataku sambil mengamit sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Aku sudah siap dengan ekspresi yang akan ditampilkan oleh Descartes.

“Lalu untuk apa?” tanya Descartes dengan tangan memijat-mijat keningnya. Ada kengerian yang kulihat dari sosok matanya.

Descartes melirik ke meja sebelah kanannya, sedang duduk berbicara disitu kulihat Mangun dan Magnus, mahasiswa tingkat akhir dari salah satu Universitas ternama  di Jogjakarta, sedang sibuk dari tadi membahas dehumanisme yang dilakukan pemerintah Indonesia. Memang di setiap akhir pekan, mereka sering datang ke cafe ini, mereka adalah pemuda asli Solo yang sedang menempuh pendidikan di kota Gudeg, dalam beberapa bulan terakhir ini mereka lebih sering nongkrong di cafe ini. Itulah yang kudengar dari beberapa karyawan cafe yang kudengar.

Dan sepertinya Descartes tidak tertarik sedikitpun pada pembahasan mereka.

Toh ujung-ujungnya mereka juga akan mencari statistika untuk menjawab probabilitas pengulangan sejarah sosial, matematika juga toh yang akan mereka butuhkan nantinya terlepas dari teori yang berbusa-busa dari omongan yang mereka ucapkan. Mereka akan membutuhkan suatu kepastian bentuk untuk mendukung hipotesa yang mereka temukan”  Gumam Descartes.

Aku tersenyum, sepertinya Descartes sahabatku sedari semester satu ini memang tidak mau menyerah untuk tetap mencintai agama junjungannya, Rasional Matematis.