SENO dan WALMIKI

Gambar

Dipuncak menara pengawas dalam istana di Alengka. Seno sibuk merangkai kata dengan keyboard pada laptopnya, memandang senja dengan warna jingga yang sedikit tercoreng mendung sedemikian rupa, tetapi tidak mengapa, Senja akan tetaplah senja meski ada cacat yang tidak sengaja padanya. Sedang disebelahnya Walmiki duduk bersila, jemarinya memainkan botol tinta dengan bulu penanya, sesekali memejamkan mata, mencari bayang-bayang cerita baru yang diharapkannya akan menjadi masyhur seperti cerita Ramayana. Tetapi dalam kepalanya hanya terlintas tentang kedatangan Seno yang mencarinya di Alengka.

 Dahan pohon waru bergerak kasar, berdenyit bergesek dengan dahan jati yang sama-sama kering, angin lembab yang mulai hadir dari barat belumlah cukup untuk membuat semua ini terasa lembut. Menunggu waktu saja untuk lembab setelah hujan pertama, yang menurut bisikan dari Bathara Indra akan datang tepat lima hari setelah burung Sriti meninggalkan sarangnya.

 Tepat tiga malam dari hari ini Hanoman akan sampai di Alengka, menjumpai Sinta dan bertemu dengan Trijata. Mengambil mereka berdua dari taman Argasoka terbang menuju ke gua Kiskenda tempat Rama dan Lhaksmana menunggu dengan bala tentara wanara yang siap menggemur Rahwana. Dimana kemudian Hanoman meminta ijin kepada Rama dan Lhaksmana untuk memporak-porandakan Alengka sendirian dilanjutkan dengan mengubur kerajaan para raksasa itu kedalam samudra. Ada kejanggalan memang dalam cerita ini menurut Seno, ada keburukan citra tentang Hanuman yang dituliskan oleh Walmiki, sosok wanara putih putri dari dewi Anjani yang masih hijau dalam peperangan ini.

 Inilah yang akhirnya membuat Seno bersusah payah datang dan ingin menyampaikannya kepada Walmiki. Hatta, dengan bekal keuangan seadanya Seno akhirnya nekad mengarungi samudra Hindia dan menembus kedalam dimensi dunia pewayangan untuk bertemu dengan Walmiki yang konon kabarnya sedang berada di Alengka. Suatu kebetulan.

 Menemui para penjaga dengan memperkenalkan diri dari dunia manusia sebenarnya, dan ingin bertemu dengan Rahwana. Hingga kemudian dengan sedikit bla-bla-bla pada pejaga Seno pun bertemu dengan Rahwana. Raja para raksasa yang telah membunuh adiknya sendiri Wibisana. Rahwana raja Alengka yang disangkanya buas dan menyeramkan ternyata tidak sedemikian rupa dalam kacamata Seno. Dengan menjelaskan maksud kedatangannya akhirnya Seno diberikan ijin untuk bertemu dengan Walmiki yang memang sedang berada di istana Alengka. Rahwana tidak sekaku yang dipikirkan Seno rupanya. Rahwana sendiri memberikan kebebasan akses dan keamanan kemanapun Seno mau pergi, memberikannya dengan cuma-cuma demi pengetahuan manusia tentang kerjaan Alengka yang sebenarnya. Siapa sangka jika sosok pemakan manusia itu benar-benar mengerti dan menjalani Sastra Weda.

 Hingga sudah tidak terasa tepat pada malam hari ini tiga hari Walmiki dan Seno saling mengenal dan bercakap tentang dunia sastra. Walmiki sendiri tertarik terhadap Seno yang dijumpainya, manusia yang ternyata bukanlah manusia biasa jika dilihat dari mata batinnya. Ada unsur dewa dalam jiwa laki-laki dari dunia manusia ini. manusia yang rela bersusah payah menemuinya hanya demi mengkoreksi sebuah cerita. Mengkoreksi tentang Hanoman dan penghabisan kerajaan Alengka. bagi Seno Hanoman tidak seyogyanya mengakhiri hidup Rahwana, dan mengubur kerajaan Alengka didalam samudra. Masih terlalu dini mengakhiri kisah Ramayana. Rama harus berperan dan Sinta tidak sebaiknya mudah keluar begitu saja dari Alengka bersama Trijata. Begitulah koreksi Seno yang disampaikannya kepada Walmiki. Walmiki benar-benar tertarik, meski terasa begitu lancang rasanya.

 Dari perdebatan sampai adu argumentasi mereka telah lalui, dari sanalah mereka akhirnya lebih saling mengerti. sosok sebagai resi pada Walmiki tidak begitu dihiraukan oleh Seno, baginya seorang penulis adalah penulis, entah itu siapa saja, mau dia manusia, resi, dewa, nabi atau bahkan Tuhan sekalipun. Penulis haruslah menjadi penulis yang memiliki imajinasi tidak terbatas. Menciptakan dunia baru dalam pikiran setiap pembacanya. Tetapi harus ada kaidah dan pesan yang layak untuk dicerna, bukan hanya sekedar selesai dan bias di ujung cerita.

 Senja mulai tiba saat mereka bedua duduk dan memutuskan untuk menulis bersama, tentunya setelah percakapan soal Hanoman terselesaikan, dan entah mengapa

 “Kali ini apa yang akan kau ceritakan pada dunia lewat tulisanmu Mik”

 Walmiki masih diam, memang menyebalkan memang saat Seno memanggilnya dengan panggilan Mik. Panggilan yang benar-benar kurang ajar terasa. Tetapi bagaimana lagi, Seno bukanlah seorang yang biasa seperti yang diketahuinya. Bathara guru mengirimnya langsung dari Khayangan ke tujuh, turun dan lahir kedunia bersamaan dengan lahirnya senja. Lahir dari rahim yang sama dengan waktu malaikat kembali membawa pundi-pundi dosa sebelum Bathara Surya menutup tirainya.

 “Entahlah, mungkin aku akan menuliskan tentang takdirmu saja, bagaimana?”

 Seno mengangguk, seakan tidak peduli pada kisah apa yang akan menjadi takdirnya kelak, tidak peduli Walmiki akan menuliskan kisah menyedihkan atau membahagiakan untuknya. Walmiki hanya memandang sekelebat saja sebentar kepada wajah Seno, tetapi sayang, wajah itu tidaklah utuh terlihat setelah angin menyibakkan rambut gondrong Seno sehingga menutup wajahnya.

 “Kau tidak peduli pada nasib dan takdir yang akan aku tuliskan untukmu?”

 Seno terdiam, menghentikan menulisnya, kemudian memandang Walmiki. Sambil beberapa kali menyibakkan rambut panjangnya yang lupa digelungnya hari ini.

 “Tidak, Aku tidak peduli pada apa yang akan kau tuliskan padaku”

 “Kenapa? Tak takutkah kau akan kubuat kau bernasib buruk? Menyedihkan?”

 Seno geleng-geleng kepala, tersenyum. Kemudian melanjutkan menulis dengan memainkan jemarinya diatas keyboard.

 “Kau telah berhasil menuliskan cerita Hanoman dalam kisah Ramayana dengan sangat buruk, ya meski aku akui aku sangat terkesima dengan kekomplekan dari setiap tokoh lainnya dalam cerita yang kau lahirkan. Tetapi ceritamu buruk, sangat buruk untuk dibaca diduniaku saat ini”

 Walmiki melihat Seno yang masih mengetik, baru pertama kali ini dia mendapatkan ucapan sedemikian itu dari seseorang yang mengenalnya. Dewa-dewi sendiri tidak pernah ada yang mengatakan demikian padanya, baru satu anak manusia ini yang berani berkata demikian, bukan marah Walmiki merasainya, justru penasaran atas apa yang ada dalam kepalanya. Terlebih tentang Hanoman dalam kisahnya.

 Walmiki sendiri baru tahu jika akan datang dalam dunia pewayangan ini manusia bernama Seno, pemuda berambut gondrong dengan jambang yang awut-awutan. Walau secara sepintas wajahnya juga tak ubahnya mirip tokoh pewayangan, tetapi kaos oblong hitam dan celana jeans dipadukan dengan sandal jepit membuatnya tampak lain.

Ingin sekali Walmiki bertanya tentang maksud kata-kata Seno, mungkin pula ini alasan kedatangan Seno kedunia pewayangan tempatnya berada saat ini. Tetapi ditahannya. Walmiki merasa aneh dengan hal ini, begitu juga dengan penulis yang tidak tahu harus bagaimana menggambarkan keadaan ini, keadaan dimana seorang Walmiki sang penulis takdir tidak tahu tentang apa yang sedang dialaminya sendiri. Lucu bukan, seorang penulis takdir manusia yang tidak tahu menahu tentang takdir dirinya sendiri. Mungkin sebaiknya Walmiki berkilah saja, kekuatan menulis takdir hanya berlaku pada dunia pewayangan yang menjadi tempatnya hidup saat ini.

 “Baiklah, Aku akan benar-benar menulis tentang dirimu, dan aku akan mengguratkan penaku untuk menuliskan takdirmu dimulai dari malam ini, sosok manusia yang menerobos masuk kedalam dunia cerita pewayangan”

 Seno tampak tidak peduli, walau dalam hatinya dia sangatlah penasaran sebenarnya. Tulisan apa yang akan diguratkan Walmiki padanya. Tetapi ditahannya perasaan itu, takut-takut siapa tahu akan terbaca dari ekspresi wajahnya yang tampak sumringah itu.

 “Menulislah Mik, jangan hanya bicara saja. Jika kau ingin bicara, melalanglah saja, mengembara keliling dunia sebagai pencerita” Jawab Seno sambil menulis

 Burung-burung manyar terbang, beberapa kali bersamaan terbang merendah bersama dengan burung camar. Istana Alengka memang berdekatan dengan pantai disebelah Selatan, sedang disebelah utara berhadapan dengan alas lebat di kaki gunung Pancaroka. Dari ujung menara ini sebuah pemandangan indah ini dapat dilihat dengan luas.

 Walmiki kemudian mulai menuliskan cerita tentang Seno, benar-benar menuliskan kisah Seno yang dimulai dari bagaimana Seno akan kembali kedunia manusia modern setelah meminum kopi terkahir di atap menara ini, menuliskan tentang Seno yang akan menuliskan sebuah kitab yang akan menuliskan dirinya dan dunia pewayangan dengan sudut padang yang berbeda.

 Guratan demi guratan mulai tersusun membentuk paragraf dalam kertas lontar. Seperti kerasukan Walmiki menulis tanpa henti, tanpa spasi walau sekedar mencelupkan pena dari tangkai bulu burung Jatayu yang telah mati. Senja semakin legam, semburatnya hilang tertelan batas pandang samudra di sebelah barat. Malam datang dengan membawa kegelapan dan dingin yang biasa, semesta masih berada dalam jalurnya.

 Hingga akhirnya Walmiki selesai dengan lembar terakhirnya.

 Seno menatap wajah renta Walmiki, dilihatnya tak ada gurat kecapaian dalam wajah Walmiki setelah menulis tanpa jeda. Merasai apa yang terjadi padanya Walmiki pun menoleh kepada Seno dan berkata.

 “Kau tidak pernah mengkhawatirkan tentang apa yang aku tuliskan kepadamu bukan?”

 Seno diam, mengambil sebatang rokok mild dari saku celananya dan menyulutnya. Dihisapnya lembut penuh penekanan kemudian dihembuskannya keatas mendongak kearah langit melalui bibirnya.

 “Tentu saja tidak Mik. Apa yang harus aku khawatirkan dari tulisanmu untukku jika sendiri mampu untuk menuliskan cerita tentang dirimu dari tulisanku” Jawab Seno sedikit terkekeh.

 Walmiki terdiam, tersenyum. Dirasainya aroma asap rokok Seno yang samar-samar diterbangkan angin melewati hidungnya. Mereka berdua melempar pandangan kearah samudra yang membiaskan wujud bulan. Terbang kealam pikiran masing-masing, merasai dan mereka-reka tentang takdir apa yang akan terjadi. Sekalipun itu Walmiki sang penulis takdir sendiri. Semua peluang terhampar dihadapan.

 “Kau mau kopi? Aku akan turun kebawah membuat lagi, jika kau mau akan aku buatkan satu untukmu” Seno bangkit dan berjalan menuruni tangga menara.

 “Oke, buatkan aku satu, Kopi hitam tanpa gula”

“Oke” Seno pun berlalu, meghilang dibalik tembok anak tangga.

 

Kitab Omong Kosong Walmiki

GambarO! Betari Durga !”Siapa yang tidak bisa diselami”

Hanya Aku..Hanya Aku 

Lain tidak, kelak dengan Anakku !

Matahari masih menguning disebelah barat. Kitab Omong Kosong pun telah tertutup dalam tangkup Sinta. Rampung sudah dia membaca.

Walmiki masih bersila dengan cerutu Colombia dimulutnya.

Kedua mata mereka memandang jauh kearah timur, tepat cahaya sinar senja terakhir hinggap.

Dua pemuda yang tak lain adalah Lawa dan Kusa, putra kembar yang lahir dari rahim Sinta.

Buah kasihnya dengan Sri Rama.Sedang bergumul dalam perang melawan bala tentara Laksmana.

Adik dari sang Ayahanda mereka. 

 “Kenapa kau menuliskan suratan ini untuk kami, kenapa harus kami?”

 Dengan wajah cemas Sinta akhirnya memberanikan diri bertanya kepada Walmiki. Pertanyaan yang telah ditahannya dengan rekat selama ini.

Walmiki mendengar, tetapi dia tidak menjawab.

Mungkin belum saatnya, atau bisa jadi memang itu sebuah rahasia.

Wajah sepuhnya tenang. tidak ada raut perubahan dari wajahnya, matanya jauh memandang kearah pertempuran yang memang dirinya sendiri inginkan.

Pertempuran penyambung ending untuk sebuah kisah epic yang akan selalu dikenang manusia.

 “Anakku, Putri titisan Laksmi. Kekasih Batara Wisnu dalam tubuh Sri Rama. Tidak usah kau khawatirkan apa yang semua telah aku tuliskan, pertapaanku sudah seratus ribu tahun lamanya, umurku tak ada beda dengan alam semsta dan tentunya aku telah menjadi seorang bijak budi. Tidak perlu kau risau atas apa yang akan aku pilihkan pada takdirmu, pada takdir yang aku tuliskan untukmu dan putra-putramu”.

 Wajah Sinta menunduk, dia sadar siapa yang dihadapinya.Seorang suci. Seorang Resi.

Seorang dengan kuasa Sang Hyang Widhi yang dikirimkan untuk menggurat garis takdir dirinya dan putra kembarnya yang masih belia. Seorang yang mampu menuliskan apa saja sekehendak hatinya, dan ajaib ! semua akan terlaksana menjadi nyata. Semua yang ada dalam pikirannya, pikirannya.

 Dikejauhan.

Pertempuran masih berlangsung seru dan pergumulan semakin ketat. Seperti kisah yang sudah biasa kita baca. Sampailah pertempuran dimana akhirnya Laksmana memanggil balatentara Wanara dari gua Kiskenda. Hanggada maju kemedan laga. Kera besar putra Sugriwa, bertempur dengan amarah karena direndahkan bocah ingusan. Lawa dan Kusa.

 Sinta tahu, hal ini sudah dituliskan dalam lembar ke sembilan sebelum cerita usai dalam kitab Omong Kosong tulisan Walmiki yang baru saja dibacanya. kemenangan akan jatuh kepada putranya. Kemenangan yang menjadi tanda bahwa sebentar lagi dirinya akan dipertemukan dengan Sri Rama. Kemenangan yang membawa dirinya mengucap sumpah kesucian. Kemenangan yang akan membuat dirinya lenyap, Mokhsa ditelan Ibu Pertiwi.

 Sinta meraba cemas dalam hati. Seluruh untaian nasib dirinya tergambar jelas dalam kitab lontar Omong Kosong  yang ditulis oleh Walmiki pada malam purnama ke 17 saat Sinta ditemukannya. Sinta tahu apa yang terjadi. Dia tahu…dengan sangat pasti.

Penderitaan karena pengetahuannya semakin tidak tertahankan. Alih-alih mempersiapkan apa yang akan terjadi. Ingin sekali dia merubah semua suratan itu. Merubah dengan kuasa sama atas apa yang dimiliki oleh Walmiki. Menuliskan kisah yang indah tanpa lara dan nestapa yang harus dilalui. Tetapi apa daya, dia bukan Durga, dia hanya Laksmi.

 Cerutu Colombia belum habis juga dihisapnya. Asap putih tipis mengembang, melayang dari celah kiri bibir Walmiki yang terganjal ujung cerutu. Entah darimana Walmiki mendapatkan cerutu itu, mungkin pemberian dari Rahwana. Ya Rahwana yang selalu suka pelesiran ke Colombia dan Cuba. Menemui Videl sekali-sekali.

 Sinta masuk kedalam kamar. Meringkuk dalam kasur dan mulai sesenggukan. Meninggalkan Walmiki untuk berpikir dan merenungi nasib malang yang harus dia terima. Dengan kitab Omong Kosong masih dalam pelukannya. Mencoba kembali membuka dan membacanya. Mengingat kembali dengan pasti apa yang akan terjadi sebentar lagi, walau sebenarnya. Dia sudah tahu dengan pasti babak apa yang telah menanti untuk Sinta perankan.

Sinta ingin melihatnya berubah, siapa tahu dia salah baca.

 Dimedan laga perang Lawa dan Kusa melawan pasukan Ayodya sekarang tentunya sudah masuk kedalam babak Sugriwa yang maju. Hanggada sudah terkapar dalam lumpur, bersama jutaan balatentara wanara lainnya. Kedua belia Lawa dan Kusa bukanlah musuh yang bisa dianggap sebelah mata oleh pasukan Laksmana. Jika mereka tahu bahwa keduanya adalah putra dari Sri Rama dan Sinta. Tentu peperangan ini akan menjadi lain cerita. Pasukan Laksmana bisa dipastikan akan mundur, sadar diri siapa yang dihadapi. Tetapi takdir telah menggariskan berbeda. Peperangan ini tetap harus ada.

 Sementara dalam kamar, Sinta masih berusaha membuka kitab Omong Kosong tersebut. Kitab tersebut tidak lagi dapat dibukannya. Dengan bersusah payah. Menyita pikiran untuk sejenak melupakan tangisnya. Seakan kehendak untuk melihat kesalahan membca sudahlah sirna. Tertutup oleh kuasa takdir.

 Sementara pula, Walmiki menembangkan lagu Blackstar dari Radiohead.

 “Untuk apa hidup didunia jika sudah memiliki makna”. Batin Sinta luruh.

 “Bukankah aku sudah mengetahui makna apa yang aku perankan didunia ini ya Dewa, bahkan ajalku saja sudah aku lihat bagaimana dia tiba”

 Sesengguk Sinta kembali. Linangan air mata berderai, disambut gemuruh geluduk dan hembusan angin kencang. Sebuah pertanda bahwa Sugriwa pun berhasil dipukul mundur oleh putranya. Satu demi satu guratan takdir menjelma nyata. Sebentar lagi Laksmana akan kembali ke Ayodya. Melapor kepada Sri Rama kakaknya. Ya dan tentu saja Sinta akan segera kembali membuka luka. Membuka kenangan yang sudah sedemikian rapat dia simpan tanpa sepengetahuan putranya.

 Bayang-bayang masalalu hadir kembali, laksana hujan yang mulai turun, meretas pecah dipermukaan tanah. Kilatan petir menyambar-nyambar murka. Mungkin murka kepada kebodohan Sri Rama yang rela melepaskan Sinta oleh bujukan Laksmana. Atau mungkin saja murka kepada Sinta. Entah pada siapa.

 Delapan belas tahun lalu Sinta harus pergi meninggalkan nyaman istana Ayodya, tak lama setelah dirinya dibebaskan dari Alengka oleh Hanoman dan Sri Rama. Datang kepada Sri Rama dengan berbadan dua. Mengandung putra kembar Lawa dan Kusa yang saat ini berperang melawan Sugriwa.

Bukan gunjingan penduduk Ayodya yang selama ini dia risaukan. Tetapi sikap Sri Rama yang memilih dirinya untuk diabaikanlah yang membuat hatinya perih. Membuat dirinya seakan bukan lagi keinginan, membuat kehadirannya bukan lagi menjadi sesuatu yang tidak diharapan. Luka apa lagi yang lebih pedih dari hati wanita selain mendapati kenyataan demikian. Oh Dewata.

Bahkan dalam kondisi mengandung anak buah cinta kasih pun masih dipertanyakan. Belum cukupkan tes kesetiaan dari Sri Rama. Tak cukupkah dirinya saja yang meyakini kesetiaannya tanpa mendengar suara-suara yang tidak mengenal mereka. Raja adalah raja, perhitungan memilihnya untuk menjauhi menyakiti rakyatnya. Sinta dibakar untuk uji kesucian. Tes kedua kalinya, prasangka yang menyakitkan yang harus diterima Sinta. Sudah cukup.

Ah Rahwana memang menculik dirinya, membunuh Jatayu yang mencoba menyelamatkannya. tetapi apa naas aku harus rela memberikan kesucianku pada diri raksasa dari Alengka itu. Aku lebih baik mati seperti Jatayu.

 Sinta tidak memungkiri, Rahwana tak jauh tampan dari sri Rama. Beberapa wanita jatuh kedalam karismanya, dia ksatria. Memiliki kecerdasan luar biasa, hanya saja berwujud buta. Apa salahnya wujud, hanya karena berbeda dan tak sama dengan begitu mudah kita memandang sinis padanya. Ah Cerita.

Ya memang terkadang cerita suka melebih-lebihkan. Membuat perasaan sedikit lebih tertekan dengan penekanan watak. Kejahatan dibumbui begitu rupa, sehingga kita membaca seolah memang mereka harus dalam posisi durjana.

 Bahkan, andai Sri Rama mau tahu. Rahwana mengetahui bahwa Hanoman masuk menyusup kedalam taman di Alengka. diam-diam Rahwana memberikan kesempatan kepada Hanoman untuk bertemu dengan Sinta. Memberikan kesempatan kepada Hanoman untuk melaksanakan titah Sri Rama menguji kesetiaan dengan memakaikan cincin pada Sinta.

 Rahwana tidaklah senang atas hal ini, bukan lantaran Sinta akan sedih dan membenci Rama. Hal ini tentu akan sangat mempermudah bagi Rahwana untuk mendapatkan hati Sinta. Kekecewaan Sinta atas sikap Rama yang menaruh curiga. Meragukan kesetiaan dirinya.

“Ini bukan jalan ksatria dalam meraih hati pujaannya” lirih Rahwana.

 Dia memutuskan untuk marah dan membenci Rama atas sikap kurang ajarnya kepada Sinta. Terlebih setelah tahu bahwa Sinta harus pula melakukan ritual diobong untuk membuktikan kesuciannya. Sebuah tes kesetiaan yang menyakitkan hati bagi Sinta titisan Laksmi. Titisan dewi agung yang mengajarkan pengetahuan tentang adab dan keagamaan pada manusia.

Tetapi apa dayanya dengan tubuhnya sebagai manusia saat ini. dia hanya manusia biasa yang tidak lagi punya kuasa.

 “Ah…kau Wisnu !! bertubuh manusia berlaku masih sok dewa! Cuiiih !! percuma menjelma jika tidak tahu harus bagaimana menjadi manusia” Geram Rahwana melihat Sinta yang remuk hatinya untuk kedua kali.

Rahwana saja tidak seegois dirimu wahai Sri Rama. Walau dia berjuluk Dasamuka, dengan pengetahuan dalam Weda dan Sastra. Hingga akhirnya kelak Walmiki akan menuliskan sejarahnya dengan watak Rakus dan Brangasan. Menuliskan demikian hanya demi keberlangsungan cerita agar terlihat menarik. Mengorbankan seseorang dengan melabelkan peran tentu bukan masalah bagi sang pembuat cerita. Ya tapi sayang Sinta mengenalnya selama di Alengka. Mengenal watak yang bertolak belakang dengan apa yang kalian ketahui selama ini. menculik Sinta pun karena cinta. Mungkin suatu saat kau akan membacanya,mengetahui hubungan mereka lebih jauh dari pendegar-pendengar lain.

 “Ya, kau adalah jelmaan Wisnu wahai suamiku, tetapi layakkah kestiaanku ini kau uji? Belum cukupkah kau percaya kepada takdir dari Sang Hyang Widhi bahwa sampai kapanpun nanti kita akan terus berjumpa dalam reinkarnasi? Masih kah kau ragu? Oh Dewata.”

Sinta duduk, memandang langit dari jendela dapur. Air matanya sudah mulai kering.
Perang telah usai tentunya. Lawa dan Kusa tentu sedang dalam perjalanan menuju Ayodya.

Dengan gundah Sinta mulai berusaha membuka kitab itu kembali. Petaka atas nama cinta sudah didepan mata.

“Sebentar lagi, Sri Rama akan menjemputku kemari. Meminta maaf telah mencampakan diriku hanya demi ketenangan penduduk Ayodya. Mungkin juga demi kekuasaan pribadi Sri Rama saja dia kembali? Karena aku telah melahirkan anak yang bahkan adiknya sendiri tidak mampu melawan? Ah…Dewata”

 Sinta duduk. Merenungkan nasib yang tak begitu indah untuknya, gambaran-gambaran penyesalan melayang dalam benaknya.

 “Aku bukan perempuan lemah” tangan Sinta menggapai sesuatu dibawah bantalnya.

 Sinta berdiri, beranjak pergi kembali kedalam ruang tengah. Walmiki masih duduk dengan cerutu Colombianya. Masih dalam posisi yang sama. Tanpa ada perubahan sedikitpun dirasainya. Duduk membelakangi Sinta. Hanya terlihat punggungnya yang masih tegap walau sudah terlihat renta. Lampu tintir sudah menyala. Entah siapa yang menyalakannya.

 Petapa, Resi entah apa yang harus Sinta nyatakan untuk mengerti akan makna kehadiran Walmiki dalam hidupnya, mungkin juga benar bahwa dia hanya penulis egois yang memanfaatkannya demi sebuah kisah yang kelak akan laris dibaca. Orang tua dengan wajah teduh yang menuliskan roman picisan dalam kisah hidupnya. Orang tua dengan ilmu pengetahuan lebih melebihi Rahwana. Sosok yang dia ciptakan dengan kepandaian menguasai Weda dan Sastra. Siapa yang melebihi kepandaian dari yang maha pandai selain penciptanya. Sosok yang juga membesarkan Lawa dan Kusa dengan pengetahuan akan hakikat makna, nama-nama dan ilmu perbintangan yang berguna kelak dalam mengatur negara.

 “Anakku, manusia adalah manusia, entah itu titisan dewa-dewi sekalipun. Apa yang kau inginkan, kejarlah. Kitab itu hanya Omong Kosong saja seperti nama yang kuberikan padanya. Tulisan itu hanya sebuah tulisan saja. Tidak perlu kau menjadi makna seperti yang aku inginkan. Bukankah jika kita mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi, hidup tak lagi terasa indah bukan? Kejarlah bahagia dengan tanganmu sendiri

 Suara Walmiki memecah keheningan lamunan Sinta.

Asap cerutu mengepul, melayang berhamburan memenuhi ruangan. Gambaran jelas Walmiki yang duduk kini hanya terlihat siluet dalam asap cerutu Colombia, asap cerutu yang memang sedikit harum walau pedas terasa dimata. Sinar lampu tintir bergoyang-goyang. Merasai keabsrudtan keadaan.

 “Kau mau kemana eyang?”

Tak ada jawaban, tak ada suara apapun selain suara Sinta yang terkurung dalam benaknya sendiri. Semua kabur, putih, kosong. Tiada. Hingga lambat laun semua terlihat kembali, Walmiki sudah tidak ada. Mokhsa kah? Atau pergi entah kemana.

 “Aku yang harus menuliskan takdirku sendiri, mencari makna hadirku sendiri dengan pilihan yang memang aku mau”

Atau ini memang sudah dituliskan oleh Walmiki sebelumnya.bukankah dia Bijakbudi yang telah bertapa beratusribu tahun lamanya, tentu dengan akan sangat mudah mengganti setiap isi dari kitab yang dia tuliskan. Atau Sinta hanya sedang dipermainkan?

Mulai tersadar, Sinta merasai kitab itu kini telah lenyap pula dari tangannya. Kitab Omong Kosong yang dia percayai isinya dari Walmiki sang penulis cerita itu sendiri.

“Siapa yang tahu akan takdir?”

“Siapa yang percaya pada Omong Kosong”

“Ketidakpastian adalah kemutalakan”

Sinta berdiri, mengeluarkan belati yang sedianya dia simpan untuk membunuh Walmiki.