PURWOKERTO

 

Hasil gambar untuk purwokertoPerjalanan ini dimulai dari sebuah pagi yang sibuk, tidak seperti biasanya, saya jarang sekali berhasil untuk bangun pagi buta, bahkan jam 6 pun terasa sangat pagi bagi saya, kecuali untuk hal-hal tertentu seperti saat mendapatkan jam mengajar pagi.

Kali ini saya harus bangun pagi, alarm sudah saya kondisikan untuk berbunyi antara jam 4 sampai jam 5 pagi, ya tentu saja hal ini saya lakukan karena saya takut untuk ketinggalan kereta yang akan berangkat pukul 6 pagi tepat dari stasiun Purwosari Solo. Pada tanggal 19 sampai 22 nanti saya akan mengikuti pelatihan Aplied Approach (AA) yang merupakan lanjutan dari pelatihan PEKERTI yang telah saya selesaikan pada bulan Januari kemarin. Berangkat pagi dengan masih mengemasi barang-barang yang harus dibawa karena ternyata masih belum semua barang yang menjadi keperluan saya masuk dalam dua tas yang nanti akan saya bawa.Berangkat diantar oleh istri saya,anak saya yang masih 4 bulan dan adik ipar menuju stasiun Purwosari. Sebuah perasaan baru harus meninggalkan istri dan anak yang masih lucu-lucunya.

Masuk ke dalam stasiun, Purwosari, beberapa kenangan muncul, sudah lama sekali rupanya saya tidak naik kereta api, terakhir kalipun saya lupa kapan itu. Duduk di ruang smoking room yang disediakan dekat dengan toilet membuat saya sedikit merasa pusing karena bau pesing yang sangat, meski sudah lebih bersih dari sebelumnya, tetapi pesing tetap saja menjadi hal yang sulit untuk dihilangkan. Duduk sendirian kali ini terasa ada yang kurang, rasanya sungguh menyesal tidak terdapat buku bacaan yang biasanya menemani ketika perjalanan, ah menyesal sekali.

Kereta dari arah timur tiba, kereta Joglokerto yang berangkat dari stasiun Balapan tiba tepat waktu, di gerbong nomor 6 telah menunggu rekan sejawat saya dari kampus STIKES Nasional, Bapak Vector Stephen Dewangga, Ibu Lilik Ariyani, Ibu Disa, dan Ibu Fitria yang sedang hamil 7 bulan. Dan saya harus duduk sendirian, tidak bergabung dengan mereka karena nomor kursi yang tidak sama. Dalam perjalanan saya memilih untuk tertidur karena memang rasa kantuk yang tidak tertahankan, saya tidur hanya 2 jam, karena pada pukul 1 pagi, saya memaksakan diri untuk melihat pertandingan Liverpool.

Dalam tengah perjalanan saya mendapatkan teman perjalanan seorang lelaki tengah baya, dia naik dari stasiun Lempuyangan Jogja, dalam perjalanan dia bercerita tentang kehidupannya, dan juga tentang pertanyaan-pertanyaan soal negara dan dunia pendidikan, lumayan juga, perbincangan dengan tema menarik seperti ini sudah lama sekali tidak saya dapatkan. Mulai dari soal pembuatan rel kereta api pada tahun 1918 yang masih lebih bagus dari tahun 2018 saat ini, tentang aspal yang diimpor dari luar negeri, tentang Turkistan yang katanya adalah contoh bagus untuk belajar kondisi Indonesia yang mulai dijajah oleh Cina, dan masih banyak lagi, meski tidak semua dalam tema perbincangan kami sependapat, tetapi setidaknya, saya mendapatkan beberapa pemahaman baru bagaimana beberapa orang memandang kondisi bangsa saat ini, dan dalam dunia pendidikan, ada pertanyaan yang menggelitik yang dia lontarkan.

Apakah BEM sekarang masih memiliki taji untuk mempengaruhi pemerintahan saat ini?

Jujur saja, saya menjawab bahwa BEM saat ini tidak lagi memiliki taji dalam mempengaruhi pemerintahan saat ini, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa tidak lagi terasa menggigit, dan lebih terasa ompong dan hanya menghasilkan rasa geli.

Tepat di stasiun Kroya, bapak yang saya lupa namanya tersebut turun, dan dalam beberapa menit lagi, saya pasti akan segera sampai juga di stasiun kota Purwokerto.

Sesampainya di staisun, kami berdiskusi bagaimana cara menuju penginapan yang telah dibokingkan oleh kampus kami untuk menginap, memesan ojek online sepertinya solusi yang sedikit harus hati-hati, karena sudah bukan hal yang asing tentunya bahwa ojek online tidak bisa bebas mengambil penumpang di dalam stasiun. Dan benar saja, dua ojek online (Go Car) yang kami pesan berurusan dengan tukang ojek konvensional yang ternyata berjaga di daerah yang dianggap zona merah bagi ojek online. Hingga di akhir kata, kami disuruh untuk memakai jasa taxi konvensional, yang seperti bisa kami tebak, kami kecewa dalam pelayanannya, karena kata awal hanya membayar 40.000 ternyata kami ditarik uang sebesar 50.000 rupiah. Bukan perkara uang 10.000 yang harus kami bayarkan, tetapi lebih kearah tidak konsekuenya harga awal yang telah disepakati. Tidak puas, mungkin seperti itulah, jika saya teringat tentang audit internal dan eksternal yang baru saja prodi kami lakukan, ya semua tentang profesional dan pengendalian mutu dari suatu bentuk pelayanan.

Pertemuan pertama di hotel Dominic kami bertemu dengan pak Wawan Laksito dan Prof DYP selaku ketua Kopertis Wilayah VI, Suatu kehormatan mereka datang dan menyalami kami, rupa-rupanya beliau-beliau ini masih mengingat kami yang beberapa bulan lalu baru saja mengikuti pelatihan PEKERTI yang juga di isi oleh beliau-beliau tersbut, mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kami, bahwa kami dinilai sangat gesit dan cekatan dalam mempersiapkan diri menjadi tenaga pengajar yang profesional. Meski dalam hati, kami ingin mengembalikan rasa bangga dan syukur tersebut kepada kampus kami STIKES Nasional yang memang komitmen dalam memajukan tenaga pendidiknya untuk lebih baik lagi.

Mengikuti sesi pelatihan pertama dari prof DYP dan dilanjutkan oleh pak Wawan Laksito seperti biasa menambah wawasan kami di dunia pendidikan, tentang peran kami sebagai dosen yang bukan hanya menjadi seorang tenaga pengajar yang profesional tetapi juga sebagai seorang ilmuwan yang harus menghasilkan beberapa karya ilmiah yang dapat menunjang perkembangan pendidikan nasional. Selesai sesi, seperti biasa, tugas pasti sudah menunggu untuk menjadi pekerjaan rumah bagi kami, kami tidak merasa heran dan gentar sedikitpun. Karena hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari kami di kampus, tugas dan belajar tentang adminsitratif kampus dalam satu bulan ini telah menjadi langganan kami, bahkan sampai lembur jam 10 malam bukan lagi menjadi soal, dan jujur saja, saya belajar banyak dalam hal ini, mulai dari syarat pendirian sampai akreditasi akhirnya saya mengerti benar prosedurnya harus seperti apa. Kerja keras ini tidaklah sia-sia, saya mendapakan ilmu-ilmu baru yang suatu saat mungkin akan berguna kedepannya.

Di homestay yang kami tempati, setelah mandi dan mencari makan dengan berkeliling kota, kami semua disibukkan dengan aktivitas video call dengan keluarga kecil kami masing-masing, pak Vector menelpon istrinya yang sedang hamil muda, bu Lilik menelfon suaminya yang sedang bermain dengan anak-anaknya, Bu Fitria dengan suaminya, Bu Disa dengan calon suaminya, dan saya dengan istri dan anak saya, Shayna Alesha Amarseto.

…………………(Bersambung)