Aku menunggu reda hujan yang datang tidak tepat waktu seperti biasanya. Aku duduk, memandang teh hangat seduhan penjual HIK yang sudah cukup renta, otot-ototnya terlihat terlatih, mungkin pagi harinya dia adalah buruh tani di selatan desa, sedang sore hari seperti ini membuka hidangan pada para buruh sepertiku yang sedang balik kerja.
Aku menunggu hujan reda, di barat sana istriku sedang menungguku, sedang khawatir tentangku yang barangkali kehujanan dan tidak mampu menemukan tempat berteduh. Mantol lupa dimasukkan kedalam jok bagasi sepeda motorku. Sedang gelegar halilintar terus memburu, seakan ini waktunya untuk berjibaku terhadap musim yang tidak menentu.
Aku menunggu hujan reda, untuk lekas pulang, lekas bertemu dengan anakku yang sedang bersemayam nyaman di garba perut buncit istriku. Kali ini begitu rindu aku untuk mendendangkannya surat Maryam atau Yusuf, meski tiap malam sehabis maghrib selalu begitu. Aku rindu mencium perut buncit itu, meraba-raba tonjolan kecil yang dibilang dokter bahwa itu dirimu anakku.
Aku menunggu hujan reda, bukan aku tak berani nekat seperti dulu untuk terus berjalan tanpa peduli tentang pedihnya tetesan air yang menghantam wajahku, tidak, aku tidak setakut itu meski usia semakin memakan fisikku. Aku hanya lebih berhati-hati terhadap kondisiku, karena di pundakku sudah ada ibu dan dirimu anakku, sedang dipunggungku ada tanggung jawab untuk selalu kuat dan tetap kokoh lurus untukmu dan ibumu.
Dan dalam hujan seperti ini akhirnya aku mengerti, bahwa bapakku yang tak banyak bicara itu telah mengajarkanku dalam diamnya tentan bagaimana menjadi seorang ayah sesungguhnya. Tak banyak mengerti dan tahu tentang apa itu cinta, tetapi dalam diamnya dia menunjukkan makna.
Aku menunggu hujan reda, dengan secangkir teh hangat aku duduk dan terus berharap langit tak lagi berwarna rata abu-abu. Aku ingat kala kecil, dimana bapak marah kepada ibu karena berkata bahwa hujan saat langit berwarna abu-abu akan berlangsung lama dan selesai dalam waktu tak tentu, berbeda dengan hujan dengan angin dan awan gelap tebal pada sebagiannya, hujan seperti itu mudah diprediksi, mudah ditebak. Bapak kala itu marah, karena berkata kesengsaraan hanya akan membuat kita semakin tak bernyali tentang menghadapi hidup, meski tak selamanya seperti itu.
Seperti kali ini, saat aku duduk menunggu hujan reda.