AKU MENUNGGU HUJAN REDA

Gambar terkait

Aku menunggu reda hujan yang datang tidak tepat waktu seperti biasanya. Aku duduk, memandang teh hangat seduhan penjual HIK yang sudah cukup renta, otot-ototnya terlihat terlatih, mungkin pagi harinya dia adalah buruh tani di selatan desa, sedang sore hari seperti ini membuka hidangan pada para buruh sepertiku yang sedang balik kerja.

Aku menunggu hujan reda, di barat sana istriku sedang menungguku, sedang khawatir tentangku yang barangkali kehujanan dan tidak mampu menemukan tempat berteduh. Mantol lupa dimasukkan kedalam jok bagasi sepeda motorku. Sedang gelegar halilintar terus memburu, seakan ini waktunya untuk berjibaku terhadap musim yang tidak menentu.

Aku menunggu hujan reda, untuk lekas pulang, lekas bertemu dengan anakku yang sedang bersemayam nyaman di garba perut buncit istriku. Kali ini begitu rindu aku untuk mendendangkannya surat Maryam atau Yusuf, meski tiap malam sehabis maghrib selalu begitu. Aku rindu mencium perut buncit itu, meraba-raba tonjolan kecil yang dibilang dokter bahwa itu dirimu anakku.

Aku menunggu hujan reda, bukan aku tak berani nekat seperti dulu untuk terus berjalan tanpa peduli tentang pedihnya tetesan air yang menghantam wajahku, tidak, aku tidak setakut itu meski usia semakin memakan fisikku. Aku hanya lebih berhati-hati terhadap kondisiku, karena di pundakku sudah ada ibu dan dirimu anakku, sedang dipunggungku ada tanggung jawab untuk selalu kuat dan tetap kokoh lurus untukmu dan ibumu.

Dan dalam hujan seperti ini akhirnya aku mengerti, bahwa bapakku yang tak banyak bicara itu telah mengajarkanku dalam diamnya tentan bagaimana menjadi seorang ayah sesungguhnya. Tak banyak mengerti dan tahu tentang apa itu cinta, tetapi dalam diamnya dia menunjukkan makna.

Aku menunggu hujan reda, dengan secangkir teh hangat aku duduk dan terus berharap langit tak lagi berwarna rata abu-abu. Aku ingat kala kecil, dimana bapak marah kepada ibu karena berkata bahwa hujan saat langit berwarna abu-abu akan berlangsung lama dan selesai dalam waktu tak tentu, berbeda dengan hujan dengan angin dan awan gelap tebal pada sebagiannya, hujan seperti itu mudah diprediksi, mudah ditebak. Bapak kala itu marah, karena berkata kesengsaraan hanya akan membuat kita semakin tak bernyali tentang menghadapi hidup, meski tak selamanya seperti itu.

Seperti kali ini, saat aku duduk menunggu hujan reda.

Bertanam Dendam

 Kau mengibarkan bendera dengan tulisanmu saat kau sedang berada di puncak, dan kau juga berteriak bahwa kau bisa melihatku dari kejauhan sana. Katamu padaku pada siang bolong dihari itu.

Aku memilih tidak percaya saat kau bercerita tentang hal itu. Aku memilih tidak percaya meski aku hampir meyakini dengan kesadaran penuhku bahwa itu memang bendera dan suaramu.

Tetapi seperti kataku, aku memilih tidak percaya, aku memilih tidak percaya bahwa itu dirimu.

Karena kepercayaan itu yang membuatku tetap bertahan dengan asumsi bahwa aku masih lebih bagus darimu dalam hal apapun termasuk menulis.

Arghht tapi sial!

Kenyataan memang berkata lebih pahit.

Tulisanmu adalah nyata

Dan aku masih menghibur diri dengan bersembunyi dan berasumsi

Tanpa satu prestasi, tanpa bereksistensi.

Ah, Jamban!!

Aku mendelik, mengumpat, serapah keluar, memuntahkan sial dan mengutuk keadaan.

Bagaimana bajingan kecil sepertimu itu bisa melampui segala eksistensi yang ku bangun dengan renda-renda idealis yang kupikir sempurna ini!!

Sial ! Sial ! Sial ! dan kerjaanku sekarang hanya mengeluh dan menggerutui keadaanku.

Si Jamban terus bergerak

Aku hanya diam disini mencaci maki

Tunggu saja

Dendam mulai tumbuh

Untuk segera memburumu, menguntitmu diam-diam lalu menerkammu dengan goresan kata-kata yang akan membuatmu bertekuk lutut dan menangis.

Melahirkan dendam baru

Dendam yang kutanam untukmu

Dendam yang kuhadirkan karena rasa cintaku padamu!

Kupersembahkan kepada adikku Ruli Riantiarno, yang telah berhasil mengalahkanku, yang telah semakin dewasa dalam menulis dan bersikap, selamat berproses, selamat menjadi manusia baru.

LAKI-LAKI BERPECI USANG

Gambar terkait

Ini hari dimana aku menjumpainya untuk kedua kalinya, laki-laki berpeci usang dengan rokok klobot di bibirnya. Dulu dia jarang sekali merokok, sekali merokok pun bukan kretek tetapi mild. Sekarang gusi dan giginya hampir hitam karena nikotin. Rambutnya sesekali di sentil angin dari timur, angin dari australia yang telah melakukan  perjalanan jauh melewati laut jawa. Dulu dia juga belum punya uban sebanyak ini.

Hari ini aku dan dia duduk pada bangku di teras, memandang perbukitan yang dijejali padas kecoklatan, musim hujan akan membuatnya tampak menawan, membuatnya sedikit hidup dan berdenyut dengan warna.

Kami masih tidak bicara, membiarkan pikiran membawa kami menjelajah masa lalu, sepuluh tahun yang lalu saat terkahir kali dia melihatku. Membanting pintu. Membanting hati istrinya dan meremukkannya.

Bibirnya sesekali bergerak, naik turun mengeja apa yang lewat dalam pikirannya. Mungkin emosinya, rasa marah dan kecewa yang biasa aku sangkakan akan mengendap dalam hatinya setelah hari laknat itu. Aku tak juga mau membuka suara. Aku tak diajarinya untuk berkata-kata, mendengar adalah ajaran utama darinya. Rokok klobotnya dihisap lagi, gemeretak tembakau sedikit mengisi kekosongan bunyi pada kami. Kunyalakan rokok ku.

Mata kami tak juga saling pandang, ada keengganan mungkin darinya, ada rasa tak tertahankan jika dia melihat mataku. Tetapi aku tetap nekat mencuri-curi walau kadang cepat kupalingkan muka kembali. Asap rokokku mengepul, terbang menyatu bersama asap rokok klobotnya, membaur terbang meliuk dicumbui angin. Membawanya bersama tanpa risih dan resah entah kemana.

 

Enam Freud, Lima Marx, Empat Conan dan Tiga adalah kamu.

Gambar terkait

Aku masih duduk, menunggu di depan sebuah rumah yang lama menjadi tempat singgahmu di kota yang sebagian besar orang katakan adalah kota istimewa, dimana di dalamnya ada kekuatan yang membuat seseorang akan merasa seperti di rumah, dan rindu setelah meninggalkannya. Tetapi seperti kau ketahui, aku tidak mempercayai itu, bahkan setiap aku datang kesini kalau bukan karena dirimu atau sahabatku, aku tidak akan tertarik dengan kota ini.

Aku duduk menunggu sampai detik demi detik berjalan menuju beberapa putaran yang sebentar lagi menghantarkan waktu yang tepat untuk memanggilmu dan bertemu denganmu. Sebuah kado kecil aku sembunyikan di dalam bagasi motor matic yang biasa kita pakai. Aku tidak berkata bahwa aku akan hadir, karena seperti biasanya, membuatmu terkejut atas sikapku bukanlah sebuah pekerjaan yang selalu akan sukses aku kerjakan. Kau selalu membaca-ku lebih cepat dari apa yang diriku sendiri pikirkan. Tapi kali ini aku berharap aku berhasil.

Tinggal beberapa menit lagi, dan aku masih menunggu dengan perasaan yang tidak menentu. Mendung mulai bergerak menujuku, samar-samar rembulan yang tidak sepenuhnya penuh ini mulai buram, sebentar lagi tepat tanggal tiga setelah tiga tahun aku harus pergi dari diriku sendiri semenjak siang dimana kau menangis di bawah pohon beringin dengan sesenggukan. Bercerita tentang perasaan yang tentu saja aku sudah persiapkan, meski pada akhirnya aku yang hancur, memendam marah, memendam dendam terhadapmu yang begitu saja pergi tanpa aku bersiap untuk itu.

Beberapa menit lagi, tidak sampai lima menit. Aku mencoba melihat dengan seksama jendela lebar dimana kau biasa mengintipku saat aku menjemputmu, dulu. Tidak ada siluet apa-apa yang aku dapatkan, sepertinya tenang saja tak seperti dulu dimana dirimu dan kawan-kawanmu berkumpul di depan televisi. Tak ada persiapan untukmu di kos pikirku, aku membuka hp, mencari nomormu. Masih layakkah? pertanyaan itu menghantuiku, mengerayangi kesadaran tentang diriku dan dirimu yang tak seperti dulu. Aku masih percaya kata-katamu; “Kita belum usai”!

Aku beranikan untuk memencet nomormu, menghubungimu.

Tak ada respon.

Antara aku lega atau kecewa, aku masih termangu memandang jendela itu, dan saat kusadari keadaanku sendiri saat ini yang berdiri disini, aku rasanya ingin tertawa, menangis atau heran dengan laku-ku ini.

Aku putuskan untuk berputar, mengambil bingkisan dalam jok serta mencari kertas untuk menuliskan sebuah pesan untukmu.

“Apa yang paling indah selain dapat berbincang dengan seorang yang mengerti apa yang kita katakan.

Apa yang paling sedih selain kita harus mati sebelum mati sebenarnya.

Waktu, adalah hal yang perlahan mulai tidak kita percayai.

Dan untuk apa kita berbicara tentang kenangan lagi bukan, bukankah kita sebenarnya masih disana, dalam slide yang pernah kita buat begitu indah.

Dan seperti yang pernah aku katakan, berbahagialah dan aku tetap akan menjadi tidak murahan. Seperti halnya dalam sebuah surat yang aku dapatkan darimu, sebuah surat yang terselip sekarang dalam buku Orwell.

Kau tidak akan meragukanku, begitu juga sebaliknya.

Kita masih menjadi orang asing yang percaya kepada kegilaan pemikiran yang tidak semestinya, kita yang kesepian di tengah pembicaraan yang wajar.

Dan aku harap kau tidak semakin kesepian sepertiku setelah hampir beberapa bulan tidak berbicara sepatah katapun semenjak pertemuan terakhir itu.

Ah, kenapa aku mendayu, bukankah sudah bukan haknya lagi diriku untuk melulu?

Mungkin karena waktu sudah tepat, sebentar lagi menit lebih satu.

5 adalah milik Marx, 4 adalah milik Conan, dan 3 adalah milikmu.

Selamat Hari Lahir.

Berbahagialah manusia-manusia yang terlahir di bulan Mei.”

 

Abhiseka

 

Sebelum pergi, aku letakkan surat itu di dalam bingkisan yang aku bawa, di bawah kursi panjang dimana aku hilangkan kontak lensmu kala itu. Memandang jendela lebar itu sekali lagi, meski dalam celah dinding pembatas itu aku dapat melihat bapak tua itu berbaring berselimut jaket parasit berwarna ungu.

Aku pamit, kepada sosokmu yang kuimajinasikan sendiri, mungkin karena mataku mulai buram mengambang. Headset kupasang, malam ini dalam perjalanan kurasa aku akan memiliki beberapa lagu yang tepat untuk kuputar, Talk-Kodaline, Middle-DJ Snake, dan No Surprises-Radiohead. Sampai jumpa lagi di minggu-minggu awal bulan Mei tiap Tahunnya. Sahabatku.

 

 

APA KABAR KAWANMU YANG PEMURUNG ITU?

Gambar terkait

“Hai apa kabar temanmu yang murung itu?”

Aku terkejut dengan pertanyaanmu, lagi. Seperti dulu, kau mengingatkanku lagi pada dirinya, tentang seorang kawan yang telah lama hilang dan bahkan kabarnya saja juga aku ingin ketahui. Dan sekarang aku dihadapkan kepada pertanyaan yang sebenarnya juga sangat aku ingin ketahui jawabannya.

“Apakah dia masih suka duduk di puncak bukit saat senja tiba?”

Tanganmu menggamit tanganku, menggoyang-goyang manja dengan lirik mata itu, mata yang aku kagumi karena kejernihan dan kepolosannya. Mungkin karena itu aku bisa mencintaimu dan melupakan sedikit demi sedikit tentang kawanku yang murung itu.

Tetapi kau menanyakan kembali soal kawan itu, kawan yang ingin aku lupakan meski kadang aku rindukan. Entahlah, aku tidak mau ribut dengan pertanyaan darimu, terlebih pertanyaan aneh yang muncul dari diriku sendiri saat mengingatnya.

“Aku sendiri tidak tahu, mungkin dia sudah bertemu dengan senja yang dia tunggu dan pulang kerumah untuk membawanya, memasukkannya kedalam kotak kaca di atas meja bacanya. Atau…..” tenggorokanku tercekat, terasa tidak nyaman untuk melanjutkan, dan kemana perginya suara itu.

“Atau apa?”

 Matamu itu menatapku lagi, sebentar saja kuamati, kemudian kualihkan kepada jalan yang mulai sepi karena jam malam diberlakukan.

“Kita percepat saja, sebentar lagi tepat jam sembilan malam. Kita sedikit telat dari waktu yang kita rencanakan”

Kataku muncul, mengajaknya berjalan lebih cepat.

Mata polosnya masih kosong, kepolosan adalah senjata yang mampu melahirkan pertanyaan yang jujur dari sebuah manusia. Tanpa ada ketakutan tanpa ada kekhawatiran untuk memilah-milah atau berpikir tentang disakiti menyakiti. Aku tidak peduli kepada ketidakpedulianmu.