Dominasi budaya patriarki yang meletakkan kaum perempuan sebagai subkoordinasi laki-laki adalah faktor utama berbagai kasus pemerkosaan, bukan masalah ketimpangan ekonomi maupun demografi seperti yang banyak dibahas bahwa hal itulah penyebab dari munculnya kejahatan pemerkosaan.
Pengusung budaya patriarki percaya bahwa “aku berkuasa, maka aku ada”. Dengan respresntasi sistem patriarki yang diasosiasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi, sehingga munculah pembagian peran di masyarakat, yaitu peran laki-laki di ranah publik dan perempuan di ranah domestik. Dengan demikain peran atau status laki-laki dianggap lebih tinggi karena berperan di ruang publik dan mendapatkan penghargaan secara materi. Sementara status perempuan dianggap lebih rendah karena berperan di ruang domestik tidak mendapatkan pengharagaan sama sekali (secara materiil). Di dunia yang serba mengedepankan aspek materi ini, dari perbedaan penghargaan di ranah domestik dan publik tersebut, perempuan juga haruslah menerima stigma bahwa mereka adalah kaum yang lemah, kaum yang harus selalu berlaku feminim, lemah lembut dan patuh, sedangkan laki-laki adalah kaum yang kuat, berkuasa, keras dan berkuasa.
Ketetapan pola pikir seperti inilah yang mengendap dan menjadikan perempuan berpikir benar bahwa dia tidaklah memiliki kekuatan untuk melawan / berhadapan dengan laki-laki. Hal inilah yang berkembang dan membentuk paradigma dalam pemikiran sosial bahwa perempuan dianggap lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan laki-laki, dan berujung kepada laki-laki mersasa bahwa dia berkuasa atas perempuan. Instrumen yang mereka gunakan untuk menancapkan kuku kekuasaannya sangat beragam. Mulai dari yang sangat halus seperti melarang perempuan berpolitik dan kerja, sampai yang paling brutal yaitu pemerkosaan dan bahkan pembunuhan keji. Budaya partriarki sebenarnya bermaksud untuk melindungi kaum perempuan, namun jika dilihat dari perspektif Barat, budaya partriarki sebenarnya merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap hak-hak perempuan. Meski demikian, pada dasarnya setiap spesies selalu akan melindungi sumber kehidupan, regenerasi dan keberlangsungan spesiesnya.
Hal ini dapat dipelajari dari akar lahirnya budaya patriarki, budaya yang dalam pengertiannya adalah suatu sistem dimana adanya relasi yang timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, dimana yang mendominasi mengontrol yang didominasi. Biasanya ini berkenaan terhadap ekspresi gender dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin (superior), sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminine (inferior). Jika diulas sedikit tentang sejarah penindasan masyarakat yang digoreskan Fredrick Angel dalam bukunya Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara maka dapat disimpulkan budaya patriarki ini muncul pada zaman peralihan. Lebih tepatnya ketika peralihan zaman paleolitikum dan zaman logam yang dimulai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura yang dilakukan oleh perempuan, kemudian domestifikasi binatang buruan menjadi ternak hingga ditemukannya baja/logam yang dibuat menjadi bajak sehingga dapat mengelolah tanah lebih luas. Pembajakan ini dilakukan oleh laki-laki karena perempuan tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan memelihara anak dengan produksi pertanian. Hal lain yang melatarbelakangi kenapa perempuan tidak membajak karena proses evolusi tubuh perempuan yang berubah pada zaman holtikultura. Pembajak akan mendapat hasil yang banyak sehingga terjadi akumulasi modal dan menyebabkan surplus, dimana dengan jelas yang mendapatkan surplus adalah laki-laki sehingga muncul kepemilikan pribadi. Surplus ini yang memulai adanya budaya patriarki dimana perempuan mulai didomestifikasi dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan generasi yang nantinya akan dijadikan sebagai tenaga kerja. Dengan demikian, sejarah budaya patriarki sangat erat dengan perkembangan faktor produksi di dalam masyarakat.
Kembali kedalam topik partriarki, Dengan alasan “kekuasaan”, pemerkosaan tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa, tetapi juga pada anak laki-laki, karena orang-orang seperti ini berpikiran mereka akan berkuasa terhadap kaum yang tidak memiliki asksesibilitas atau kemampuan untuk membela diri, maka dari itulah, terkadang kita temui begitu banyak kasus pemerkosaan yang dilakukan berkelompok pada usia remaja, mereka mendapatkan kepercayaan diri lebih bahwa mereka berkuasa saat mereka bersama-sama. Hal ini dapat kita lihat pada kasus Eno salah satunya.
Dalam budaya timur, laki-laki diperbolehkan untuk keluar malam, sementara peremuan tidak, seakan ada batasan khusus antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Peran perempuan sebenarnya sama besarnya dengan laki-laki, namun karena pergesaran yang diakibatkan batasan-batasan tadi, maka peran perempuan tak ubahnya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Pola pikir seperti ini menjadi akar terjadinya berbagai kasus pemerkosaan di India, perempuan India di anggap sebagai harga diri suatu suku atau keluarga yang harus dilindungi, sehingga tak jarang perempuan dilecehkan, diperkosa sebagai suatu upaya melecehkan suku lainnya.
Dalam pemikiran kita (laki-laki) seringkali perempuan disalahkan dalam kasus terjadinya pemerkosaan, dengan berbagai dalih bahwa perempuan memakai pakaian yang mengundang, dia terlalu menggoda, dia sexy dan alasan sensual lainnya yang berujung kepada pembenaran perbuatan perkosaan. Dari hal ini saja, jelaslah bahwa laki-laki tidak mau menjadi salah, laki-laki mengibaratkan dirinya adalah Singa yang berkuasa, dan janganlah memancing-mancing jika tidak mau diterkam. Sebuah refleksi dari pemikiran dari hasil budaya patriarki. Pendukung budaya patriarki selalu berdalih bahwa perempuan diperkosa karena pakaian yang mereka kenakan terlalu merangsang pria. Namun hal tersebut menutupi fakta bahwa banyak perempuan yang mengenakan pakaian tertutup tetap saja diperkosa.
Lalu bagaimana semestinya ? semestinya laki-laki memandang perempuan sebagai mitra, sebagai partner, sebagai individu yang sama memiliki kebebasan dalam memilih hak dan kewajiban dalam peran sosial di masyarakat. Bukan sebagai objek yang bisa dimangsa. Masyarakat haruslah diajarkan pelajaran berperspektif keadilan jender, terutama laki-laki, agar mereka tidak memiliki pandangan yang menempatkan perempuan sebagai obyek seksual. Mendidik cara pandang laki-laki terhadap perempuan bukan dengan mengatur cara berpakaian para perempuan. Laki-laki lah yang harus merubah cara berpikir dan berperilakunya.
Gambaran contoh lain adalah Malala Yousafzai, pemenang Nobel Perdamaian, pernah mengalami percobaan pembunuhan karena mengadvokasi hak perempuan untuk sekolah. Namun, bukan berarti instrumen yang halus dan brutal saling bekerja sama dan mendukung, karena umumnya mereka berada pada pihak yang berbeda. Tetapi “budaya macho” yang mereka usung tetap mengarah pada supremasi lelaki. Dalam kacamata patriarki, lelaki yang sama saja dengan perempuan sebagai entitas biologis dikonstruksikan secara sosial sebagai “Superman”.
Kasus Yuyun telah membuka mata kita bahwa perempuan dijadikan obyek akan perversi (tingkah laku yang didorong oleh kelainan seksual) pendukung patriarki. Pemerkosaan sangat brutal, yang diganjar hanya dengan hukuman paling tidak 10 tahun penjara, melahirkan pertanyaan sangat serius: “Benarkah negara ini melindungi perempuan?”
Sungguh tepat perkataan Simone de Beavoir bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun “dijadikan” sebagai perempuan. Proses “dijadikan” ini adalah obyektifikasi oleh hasrat perversi para eksponen patriarki. Perversi tersebut tidak hanya berhenti pada penyimpangan seksual maupun pemerkosaan, namun berlanjut menjadi kejahatan kemanusiaan yang bernama pembunuhan.
SO ! STOP VIOLENCE AGAINST WOMEN !
Sumber :
Kompas (Budaya Partriarki)
CNN Indonesia (Pemerkosaaan Dominasi Pria tehadap Wanita)
Erna Karim (Budaya Patriarki)
(Batam : 16 Mei 2016)